Rabu, 08 Februari 2012

Restu Perjalanan (Coretan yang "terbuang") #7 (Tamat)

09 September '08
(Hari Ketigapuluhsatu) Gilimanuk - Banyuwangi - Jogja - Satubumi, UGM

Pkl. 04.10 WIB (sudah bukan WITA lagi, horeee...) dua manusia yang semakin gembel menginjakkan lagi telapak kakinya di tanah Jawa, Banyuwangi.
Pagi ini kami duduk di anak tangga depan stasiun sambil menunggu loket buka.

Dua lembar tiket jurusan Jogjakarta sudah kukantongi, lalu kami bergerak masuk ke dalam kereta api ekonomi. Bertemu lagi dengan suasana dalam kereta yang hampir sama dengan waktu kami berangkat. Yang membedakan hanya satu.., arah. Tidak ke timur lagi sekarang, tapi ke barat..., ya.., kami akan pulang kampung!
Masih banyak bangku kosong saat kereta ini mulai bergerak maju, baru kemudian di stasiun-stasiun berikutnya mulai penuh, sesak.
Madiun sudah terlewati, artinya, stasiun Lempuyangan sudah tidak terlalu jauh. Aku merogoh kantong, mengambil 'handphone' bututku untuk mengetahui pukul berapa saat ini. Terlihat pkl.18.36. "Hmm, berarti ntar nyampe Jogja kira-kira jam 9-10 malem...", otakku berpikir dan menghitung, memprediksikan, kira-kira aku dan Soe akan menunggu selama 13 jam di stasiun Lempuyangan, sebelum kereta api ekonomi yang menuju Bandung berangkat esok siang.
perjalanan belum berakhir..., masih menyimpan restunya...
Lempuyangan sudah semakin dekat ketika Soe berkata, 
"Bro..., gw barusan pas lagi ngeroko di sambungan rel, ngobrol sama anak UGM. Yang tadi pagi duduk sendirian di stasiun Banyuwangi, yang babawa carrier tea.., panjang lebar gw ngobrol, terus dia ngajakin kita tidur di sekre'nya malem ini, di UGM. Gimana? Lumayan lw teh, daripada kita tidur di stasiun?!"
Tanpa basa-basi lagi, langsung saja kujawab, 
"Hayu..., brangkatiiin!!"

Lempuyangan sudah di depan mata. Kami bersiap-siap untuk turun sambil mengecek kembali barang-barang, khawatir ada yang tertinggal.
Dua gembel dan satu orang mahasiswa turun dari kereta. Imang (pria asal Tasikmalaya yang menuntut ilmu di Jogja), mengontak kembali teman-temannya, meminta untuk dijemput. Tak tanggung-tanggung, empat buah sepeda motor menjemput kami di stasiun Lempuyangan (Padahal..., kami hanya tiga orang. Lantas satu motor lagi untuk membonceng siapa? 
"Hmmm, si lontong kayaknya cocok kalo naek motor itu..")

Tepat pkl.23.00 kami tiba di Satubumi, UGM.
Mudah bergaul, cepat akrab dan ramai adalah suasana yang kami jumpai saat bertamu disini (padahal kami bukan sedang bertamu..., cuma numpang ngerepotin...). Kami berkenalan disini, beberapa nama yang masih kuingat, selain tentunya Imang, mereka adalah, Akoh, Iqbal, Jarody, Baron dan Peri. (Maaf untuk yang tak tersebut, kemampuanku mengingat masih dibawah rata-rata.., harap maklum ya...).
Malam semakin larut, kami dipersilakan tidur di dalam sekre', dan kamipun..., terlelap.

10 September '08
(Hari Ketigapuluhdua) Satubumi, Fakultas Tehnik, UGM

Langit sudah sore saat aku membuka mata di hari ini, kira-kira pkl.15.00. 
"Wah!, parah!, kebablasan gw tidur..."
Soe tak kutemui di tempat ini. Aku mencarinya, kemudian bertanya pada salah seorang anggota Satubumi yang sedang berada di dalam sekre'. Mahasiswa itu menjelaskan kalau, Soe dan teman-teman berada di sebelah lapangan basket, sedang mencoba (mencoba=belajar) panjat dinding. Aku menyusul kesana, dan benar saja, kutemui Soe sedang belajar 'climb'.
Sekarang giliranku untuk mencoba.
Sepertinya aku memang kurang berbakat dalam olahraga ini. Nasibku tidak seberuntung Soe, Soe jauh lebih baik dariku. Berkali-kali aku mencoba untuk meraih 'top', tapi tetap saja gagal. Huh, payah!!
Kegiatan belajar ini dihentikan saat menjelang maghrib, waktunya berbuka puasa. Kami semua kembali ke sekre dan mandi. Segar!
Bertemu lagi dengan situasi yang bernama malam. Rencananya, malam ini kami akan pulang ke Jabar, namun Imang menahan, bisa racunnya keluar,
"nanti aja pulangnya, besok lagi. Nanti pagi kita mampir dulu ke Merapi, baru deh malemnya pulang... Sayang tau!, udah nyampe di Jogja ga nyempetin ke Merapi"
Sangat bodoh jika kami menolak 'racun' dari Imang.

para saudara dari Satubumi

11 September '08
(Hari terakhir) UGM - Merapi - UGM - Lempuyangan

Pukul 06.00 WIB, empat orang yang menaiki dua sepeda motor berangkat menuju Selo.
Imang, Soe, aku dan satu orang lagi temannya Imang.
Kalau tidak salah, motor yang Soe kendarai adalah motor milik Peri (Terimakasih Peri).
Trimakasih untuk semua saudara di Satubumi

Singkatnya, pkl.08.00 WIB pendakian dimulai. Di awal perjalanan, kami beberapa kali bertemu dengan penduduk yang sedang membawa rumput, sepertinya untuk keperluan makanan ternak.
Tiga jam berlalu, kami tiba di tempat yang bernama Pasar Bubrah. Di tempat ini kami beristirahat agak lama, baru kemudian melanjutkan lagi perjalanan menuju kawah mati dan Puncak. Tiba di puncak Merapi kira-kira pkl. 13.00WIB.
Turun dengan selamat sampai di Selo, pkl 17.30 WIB, lalu kembali ke Satubumi, UGM. Tiba di Satubumi pkl.19.30WIB.
Dua orang mengantarkan kami menuju Lempuyangan malam ini, untuk 'mengejar' kereta yang menuju Bandung...













jangan nyengir aja Soe..., turun Soe.., ayo kita pulang..., ceritanya juga udahan...


_______________________________________________________________________________________



catatan kecil:
*Beberapa hal yang kebetulan terjadi selama perjalanan ini, yaitu diberikan restu untuk beberapa kali bertemu dengan angka "tiga";
<33 hari perjalanan, diberikan kesempatan untuk mengunjungi 3 pulau, 3 pantai dan 3 gunung>
*Karena Restu dari-Nya juga, Total Rupiah yang dikeluarkan selama perjalanan 33 hari tidak lebih dari 900 ribu/orang.
*Sekali lagi, terimakasih untuk kalian semua, orang-orang baik...


...Terimakasih, TUHAN, untuk Restu-Mu, 
Restu Perjalanan dari-Mu..., untuk kami, di 2008...


turunlah manusia angkuh itu dari puncak yang telah dijejakinya,
meniti jalan setapak...mencari arah...
persimpanganpun terlihat... dipilih salah satunya,
namun ia tersesat, karena ia mengambi jalur yang salah...
...kemudian dalam hatinya ia bertanya...

turunlah manusia angkuh itu dari puncak yang telah dijejakinya,
meniti jalan setapak... menuju ke suatu lembah
haripun berganti... terang berubah menjadi gelap
di suatu punggungan ia terperosok, terjatuh jauh ke bawah...
...lalu ia belajar...

turunlah manusia angkuh itu dari puncak yang telah dijejakinya,
meniti jalan setapak... menuju gigiran kawah..
diiringi awan yang mulai menghitam... cuaca cerah berganti badai,
di atas kepulan belerang itu ia hanya bisa terdiam, ia pun menyerah...
...dan akhirnya ia mengerti...
kalau...

"Petualangan hanyalah tentang kerendahan hati, bukan tentang harga atau pembuktian diri"



salam damai,
-insanpenyendiri, si gembel, manusia ketjil-
---------------------------------------------------------------



Sebenarnya telah lama ingin membuat tulisan ini, namun karena beberapa kendala dan segala kekurangan, juga faktor kekurangpercayaan diri yang saya miliki, akhirnya -dengan memberanikan diri- tulisan ini baru dapat dibuat sekarang (walaupun belum semuanya rampung). Tujuan awal tulisan ini dibuat adalah hanya sebagai ucapan terimakasih untuk mereka, "para malaikat penolong". Entah bagaimana lagi caranya saya untuk membalas segala kebaikan dari anda2 para penolong. Mungkin hanya ini yang sedikit dapat saya sampaikan, ya.., hanya melalui tulisan ini saja. Dengan dasar pertimbangan inilah tersebab saya menempatkan ucapan terimakasih di awal tulisan, karena mereka-mereka yang terlibat dalam sebagian perjalanan hidup saya adalah yang sangat berperan dalam mewujudkan sesuatu yang ingin saya raih..
Karena aku si manusia kecil,, tidak dapat hidup seorang diri...
Terimakasih yang pertama teruntuk Sang Maha Pencipta atas segala yang telah dibuatNya....

Tulisan ini kupersembahkan untuk mereka, sebagai ucapan terimakasih:

Mamaku+Mama Soe; 
kakakku Erwin; 
kakakku Clara;
Bandi-Soleh-Acuy-Mimie-Andry(Centrum)-Deny-Dety-Anne-AdeQbul-Eko-Ayoenk=BOGOR;
Erna-Berto= 'd SAMARINDA's;
Firman-Hinu-Fauzi-Pak Herman&keluarga-Winda-Deny-Rival=BANDUNG;
Ari-Monica-Pa'Aceng&Ibu-temennya Monica yang mengantar dengan motor(maaf lupa namanya, tapi saya masih mengingat wajah anda)-Sri-Iqnal= DENPASAR, BALI
Mas Alex-keluarga bude'nya mas Alex&tetangganya-Lana-Amir-Ating-Cik'Yem-Rumah Makan Madya-adenya Amir =MATARAM,LOMBOK
Imang-Akoh-Jarody-Baron-Iqbal-Ciamis'man-semua teman di Satu Bumi-UGM= DJOGJA
Para 'sobat kereta'-sopir2 angkutan-nahkoda kapal-masinis kereta-dan semua kru'nya; yang telah berperan banyak dalam perjalanan.
dan semua sahabat yang tak tersebut...,
terimakasih khusus untuk Alm. Ayah yang selalu menentang kegiatanku ini...

Barangkali tulisan yang jauh dari sempurna ini juga dapat memberikan sedikit 'hal' untuk para sahabat, mungkin ada beberapa sahabat yang belum berkesempatan mengunjungi beberapa obyek yang terdapat dalam tulisan ini. -yang karena kebetulan saja saya telah diberikan kesempatan untuk dapat mengunjunginya lebih dahulu-. Dan untuk para sahabat yang sudah pernah mengunjungi objek2 yang terdapat di dalam tulisan ini, mudah2an tulisan ini dapat mengenang kembali kisah2 perjalanan para sahabat...

sekali lagi, terimakasih
-si manusia kecil- 
<insanpenyendiri>

Restu Perjalanan (Coretan yang "terbuang") #6

01 September '08
(hari Keduapuluhtiga) Renon – Karangasem – Gunung Agung

Segelas besar teh manis, satu buah cemilan kecil dan sebatang rokok menemani menu sore ini. Berbeda dengan Soe, nafsu makannya tak perlu diragukan lagi…, ia langsung memesan nasi satu piring penuh, lengkap dengan lauk pauknya.
Lama berkendara satu setengah jam telah ditempuh untuk mencapai daerah ini. Di daerah Gianyar ini kami beristirahat, turut meramaikan suasana berbuka puasa di hari pertama.
Tak lama beristirahat di sini, perjalanan kembali dilanjutkan.
Pkl. 20.10 WITA Soe dan aku tiba di Pos. Pol. Besakih Polsektif Rendang. Motor milik Ari yang kami pinjam disimpan di Pos ini, dititipkan pada polisi yang sedang bertugas. Bapak Ngakan nama polisi itu.
Setelah selesai dengan semua urusan perijinan, kami tidak langsung memulai pendakian. Rencananya, kami akan memulai pendakian di tengah malam. Berharap, bila kami memulai pendakian tengah malam nanti, saat tiba di puncak kami akan diberikan sajian ‘sunrise’ yang indah. Alasan kedua adalah karena kami tidak membawa tenda, hanya berniat ‘hiking’ di gunung ini.
Kalau ditanya, mengapa kami tidak memilih untuk ‘ngecamp’?, alasannya sangat jelas; kondisi keuangan! Pastilah lebih banyak logistik yang akan kami beli untuk bekal pendakian.

Sekarang kami memilih untuk beristirahat, mendatangi kembali warung nasi yang tiga hari lalu sempat kami singgahi. Tidak seperti tiga hari lalu, sekarang kami dapat membeli kopi, sedikit makanan dan sebungkus rokok untuk bekal pendakian, dikarenakan…, hari ini kami membawa semua sisa uang yang masih dimiliki (sambil berdoa, semoga uang yang masih ada cukup untuk ongkos pulang sampai ke Jawa Barat).


02 September '08
(Hari Keduapuluhempat) Gunung Agung - Renon, Denpasar

Pkl 00.20 WITA kami telah menemukan akses hutan yang dimaksud, setelah sebelumnya sempat kebingungan mencari jalan. Satu jam kami bolak-balik mencari jalan ini, baru akhirnya menemukan Pura Penggubengan, tepat di sebelah kiri dari jalur yang mengarah ke dalam hutan. Jalur nampak jelas, dari sini hanya tinggal mengikuti jalan setapak yang nantinya akan membawa pendaki menuju puncak. Lima belas menit berjalan, kami mendengar suara langkah kaki dari belakang. Kami berhenti, kemudian orang-orang ini mendekat.
“Alamak!!”, pasti suara hati kami berteriak saat mengenali salah satu wajah mereka. Ia adalah ‘guide’ yang memandu kami di Pura Besakih tiga hari lalu. Sekarang ia sedang bersama dua orang turis dari Jerman, memandunya menuju puncak.
Bli ini juga kaget saat melihat kami, tercermin dari nada suaranya ketika bertanya, 
“Lho, kok ada disini mas?“Guidenya mana?” dan “Kenapa nggak hubungi saya?”. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang ‘diserangnya’ pada kami.
Namun kami akhirnya merasa sangat lega, setelah beliau dapat memaklumi alasan-alasan yang kami jelaskan, alasan mengapa kami tidak menggunakan jasa ‘guide’. Dengan berat hati harus kami sampaikan kalau, kami bukannya tidak mau tapi kami memang tak mampu untuk membayarnya.
‘Guide’ ini menyisipkan nasehat, 
“Hati-hati mas, saya duluan ya…”. Kemudian ia dan dua orang tamunya berjalan lagi, sampai jauh meninggalkan kami.
Seolah tak mau ketinggalan, kamipun lantas melanjutkan perjalanan lagi. Setengah jam berlalu, jalur yang tadinya landai mulai berubah menjadi lebih curam. Pkl. 01.30 aku dan Soe berhenti berjalan. Rasa kantuk yang datang menyerang memaksa kami harus berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Kami memutuskan untuk untuk memasak air. Berniat akan membuat kopi hangat. Di tempat kami berhenti ini sebetulnya tidaklah nyaman, sulit untuk mencari posisi tanah yang datar. Selain itu, sempitnya jalur juga menyebabkan kami harus berhenti di tengah-tengah jalur. Perbuatan ini memang sangat tidak disarankan, tapi saat ini kami terpaksa melakukannya. Tidak ada pilihan lain.
Tidak lama kami diam disini, setelah setelah ‘ngopi’ perjalanan dilanjut kembali.
Tiga jam berlalu dan tidak ada yang menarik selama itu, hanya bintang bertaburan yang dapat dinikmati, selebihnya gelap dan pohon-pohon berdaun lebat yang bisa terlihat. Kondisi jalur masih sama, lumayan terjal dan berada di sebuah punggungan. Untuk ukuran kami, berhenti untuk mengambil nafas sebanyak ribuan kali adalah hal biasa, maklum…, tehnik dan pengetahuan kami tentang mendaki masih sangat minim.
Pkl. 04.30 WITA, rasa kantuk yang kali ini hadir bukanlah kantuk sembarang kantuk. Kami harus menyerah dan mengakui kemenangan atasnya. Mufakat diambil, diputuskan berhenti, mencoba untuk tidur di sebuah punggungan yang sedikit lebih luas dan lebih ‘rata’ jika dibandingkan dengan tempat tadi -tempat saat kami memasak-.
Namun aku tak dapat tertidur walaupun sangat mengantuk, tak tahu bagaimana dengan Soe?.


06.17 WITA



06.44 WITA


Sunrise tetap menjadi ‘mimpi’
Kira-kira pkl. 07.00 WITA kami melanjutkan pendakian, setelah sarapan sepotong roti dan segelas minuman gandum. Jalur masih sempit dan berada di punggungan. Sekarang semua terlihat jelas (sama jelasnya kalau kami menyadari telah kehilangan momen untuk melihat 'sunrise' di puncak. hihi...), namun tetap saja belum ada pemandangan luas yang terlihat. Pandangan masih dibentengi oleh pohon-pohon besar yang rapat.
Setengah jam terlewati, jalur mulai berubah, batu-batu besar harus dilewati kali ini. Kemudian kembali melewati jalur tanah berpasir yang mengantarkan kami sampai di batas vegetasi.


07.36 WITA



07.45 WITA > nampak gunung-gunung di Jawa Timur


08.39 WITA

Pkl 09.00 WITA kami tiba kawasan puncak. Dari sini tersaksikan jelas pemandangan sekitar pulau Bali, terutama gunung dan danau Batur di sebelah barat laut. Terlihat pula tiga orang yang malam tadi bertemu kami, mereka sedang berjalan turun.
Berpapasanlah kami di tempat yang sempit ini, lalu sang ‘guide’ menyarankan, 
“mas, anginnya sudah mulai kenceng, jangan dipaksakan ke puncak, berbahaya. Saya juga nggak berani lama-lama di puncak, makanya langsung turun lagi. Takut badai!”., kemudian mereka bergerak cepat turun ke bawah, beberapa menit kemudian ketiga orang itu sudah tak terlihat, mungkin mereka sudah masuk ke dalam hutan.(Ckckckck, mereka memang sangat cepat…).
Kami mendengar dan mengingat pesan itu, tapi Soe dan aku tetap berjalan ke atas (karena menurut penilaian kami: memang saat ini angin berhembus kencang, tapi masih bisa diatasi dengan berjalan perlahan dan membungkuk untuk meminimalisir dampak dari terpaan angin yang mendorong tubuh). Kami berjalan lagi, melewati jalur yang lebih sempit, lalu tiba di satu ‘titik’ kawasan puncak, kira-kira pkl. 09.40 WITA.
angin itu kembali mendidik, mendidik manusia angkuh!
Kami baru menyadari, ternyata kami salah, salah besar!!. Kecepatangan angin bertambah ganas ketika kami berhenti lagi, kemudian menegakkan badan. Angin yang semakin kencang itu mendorongku, membuat keseimbangan tubuh menjadi goyah dan memaksa salah satu kaki terangkat, lalu kupijakkan lagi kaki yang terangkat ini pada posisi tumpuan yang lebih ‘pas’ untuk dapat menahan tubuh agar tak terhempas oleh angin. Kami kemudian berjongkok, sangat tak berani untuk berdiri. Bayang-bayang jurang di kanan-kiri jalur semakin menghantui. Sementara puncak sudah ada di depan mata., sangat dekat. Kami dihadapkan pada pilihan yang sulit –walau sebetulnya mudah, bila ego dalam hati bernilai ‘nol’!!!, pergulatan hati terjadi.
Kami berdua diam sejenak, berpikir untuk memutuskan, sambil berharap angin kencang ini segera pergi. 
“Ya, aku sangat berharap angin kencang ini pergi, agar aku dapat melanjutkan perjalanan dan menggapai puncak itu, puncak itu…, puncak yang sudah di depan mata, puncak yang tinggal ‘selangkah’ lagi!!”, ego dalam diri ini berteriak.
Sia-sia harapanku agar angin ini reda. Angin ini tetap pada pendiriannya, tidak mau ia mereda, sedikitpun tidak mau ia mengalah. Ia malah semakin mengamuk, menghajar ego hatiku!, menampar wajah sombongku!. Seolah juga angin ini berkata, “Hei!, siapa kamu berani menyuruhku pergi?, kamu yang pergi!!”
suara kecil itu...
Di situasi ini Soe berkata padaku, dengan suara yang pelan dan telunjuknya mengarah pada puncak gunung Agung, 
“Bro…, puncak gunung Agung bukan disitu bro…”,“tapi disini…, disini…” sambil kepalan tangannya memukul-mukul dada…


10.08 WITA > Soe dan Merah Putih



11.56 WITA > di belakang, sedikit mengintip danau dan gunung Batur

Jelas sudah..., siang ini puncak gunung Agung sepertinya tidak mau untuk kedatangan tamu. Biarkan saja puncak itu berada di tempatnya. Mungkin, puncak Agung yang agung ini memang sedang ingin sendiri, ingin menyendiri...
Kami sudah bahagia untuk dapat sampai di sini.

Turunlah dua manusia, membiarkan sang puncak tetap memerintah dengan kekuasaannya.
... memang menggiurkan untuk berada di puncak gunung,
... namun, tidaklah lebih 'puncak' jika harus dibandingkan dengan arti menghargai hidup...




14.29 WITA



16.46 WITA > Pura Pengubengan



16.51 WITA

Dua pasang kaki tiba di Pos. Pol. Besakih sekitar pkl.17.15 WITA, langsung melapor kepada petugas yang sedang berjaga, seraya mengucapkan terimakasih.
Kurang lebih satu jam kami beristirahat di sini, lalu pulang menuju Renon, membayar tanggung jawab pada Ari.


18.39 WITA > Trimakasih Ari atas motor pinjamannya...

Pkl. 21.00 WITA kami tiba di Renon. Malam ini kami tidak melanjutkan ke Monang Maning. Ari, yang melihat kami sangat kelelahan, menyarankan agar malam ini kami beristirahat di rumahnya. Tak ragu kami menerima saran itu, lagipula..., tak ada yang mengharuskan kami malam ini untuk 'pulang' ke Monang Maning.


03 September '08
(Hari Keduapuluhlima) Jalan sehat, Renon - Monang Maning

Menekan pengeluaran rupiah, itulah alasannya mengapa kami rela berjalan kaki dari Renon menuju Monang Maning.
Selepas maghrib, setelah mengucapkan beribu terimakasih pada Ari, kami berjalan menuju Monang Maning.
Dua-tiga jam berjalan santai adalah waktu yang dibutuhkan untuk tiba disana. Tidak menyesal berjalan kaki, meski kondisi tubuh belum pulih sehabis turun dari gunung Agung.
Satu kejadian 'lucu' dijumpai dalam perjalanan. Sebuah mobil menyangkut di pembatas jalan, di salah satu perempatan lampu merah keramaian kota Denpasar.

mobil 'nyangkut'


Jalan sehat ini melengkapi '4L' (letih, lesu, lemah, lunglai), finish di rumah Pa' Aceng pkl. 21.00. Maaf pak, bu dan Monic..., malam ini kami tak dapat bercerita dulu.
Pulau kapuk yang sekarang lebih berhak atas cerita kami...

04-05 September '08
(Hari Keduapuluhenam-duapuluhtujuh) Istirahat 'Full'

Sesuai dengan sub judul, hari ini, 04 Sep. '08 kami istirahat total di Monang Maning. Berjibaku di dalam rumah, tidak lupa merepotkan seluruh anggota keluarga... (hihi...)
Tanggal 05 Sep. '08, hari ini juga tidak banyak aktivitas yang dilakukan, selain mengecek saldo di ATM (yang ternyata tidak bertambah, hmmm...) dan sedikit berkeliling di daerah Monang Maning.

06 September '06
(Hari Keduapuluhdelapan) Gagal ke Sukawati..., Erlangga boleh juga...

Di hari ini ada sedikit referensi.
Wisatawan biasanya akan ke Sukawati untuk membeli 'souvenir', sedikit kenang-kenangan untuk 'family' di kampung. Hal ini mungkin akan sedikit merepotkan untuk para 'backpack' yang lebih banyak menghabiskan waktu di kota Denpasar. Karena jarak dari Denpasar ke Sukawati lumayan jauh, tidak ada salahnya untuk mencoba berbelanja di Erlangga, lokasinya di Jl Nusa Kambangan No. 28 B Denpasar (sebuah toko 'souvenir' yang menjual macam-macam barang berlogo 'Bali' ). Masalah harga jangan khawatir, menurut info dari beberapa orang, harga di Erlangga dan Sukawati tidak jauh berbeda.
Kami juga berbelanja di Erlangga hari ini.




jangan banyak-banyak, Soe..., ntar nggak bisa pulang...


beli baju buat 'my lovely, mom'

Saatnya berbuka puasa hampir tiba, kami menuntaskan kesibukan berbelanja. Tidak banyak yang dapat dibeli, walau pilihan 'item' sangat beragam, unik-unik dan lucu-lucu. Lalu kami melangkah keluar dari toko ini, pulang ke Monang Maning.

07 September '08
(Hari Keduapuluhsembilan) Jalan sehat lagi ke Renon, melihat 'ngaben' di jalan

Panas menyengat di hari ini. Keringat mengucur membasahi baju, padahal belum lama kami berjalan keluar dari rumah. Jalan sehat edisi ke-2 ini harus ditempuh, tidak dari Renon ke Monang Maning, tapi sebaliknya. (malu juga terlalu lama diam di rumah Pa' Aceng. Sekarang mau merepotkan Ari, lagiiii..., hihiii...)
Saat melintas di jalan Imam Bonjol, tak sengaja kami mendapatkan momen, upacara 'Ngaben'.


upacara ngaben


wanita Bali dengan pakaian adat

Setengah enam waktu setempat, kami tiba lagi di rumah Ari.
Malam datang, suasana persaudaraan hadir di tengah-tengah obrolan. Sangat akrab kami dengan Ari, walau baru satu minggu kami mengenalnya. Entah apalagi namanya semua kejadian ini, kalau bukan, Restu Perjalanan?!
Di sela percakapan, ia menganjurkan pada kami, agar esok pagi kami berkunjung ke pantai Sanur untuk melihat 'sunrise' disana. 
"jangan sampe enggak, cantik banget 'view' di Sanur. Rugi kalo ga liat, lagian besok kan hari terakhir loe di Denpasar", begitu katanya...

08 September '08
(Hari Ketigapuluh) Sanur 'sunrise' - Denpasar - Gilimanuk

kecupan 'goodbye' dari sanur
Setelah sahur kami meluncur menuju Sanur (pinjam motor Ari).
05.30 WITA kami telah sampai, tidak berselang lama..., langit indah berwarna-warni memeragakam kecantikannya. Dahsyat!









Selesai sudah perpisahan dengan Sanur.
Kembali lagi ke Renon, kemudian malam harinya kami ke Monang Maning, berpamitan dengan dengan keluarga pa' Aceng.
Ari mengantar kami malam ini. Pkl.23.30 WITA ia mengantar aku terlebih dahulu ke pertigaan di jalan Cokroaminoto, kemudian ia menjemput Soe dan mengantarkannya juga kesini. Di sini kami berpamitan dengan Ari.
(Terimakasih dari hati kami yang paling dalam untuk kalian, para saudara di Bali...)
Persis di depan pos DLLAJ aku dan Soe meletakkan carrier, menunggu 'omprengan' untuk menuju Gilimanuk (jumlah uang yang tersisa tidak akan bisa mengantarkan kami sampai di Jawa Barat jika malam ini kami memilih menggunakan bis untuk menuju Gilimanuk).
Kebetulan malam ini ada dua orang petugas DLLAJ yang sedang bekerja. Kami meminta tolong pada mereka untuk 'mencarikan' tumpangan menuju Gilimanuk. Dengan ikhlas, merekapun sudi menolong kami.
Menunggu beberapa saat sampai akhirnya kami mendapatkan 'omprengan'. Seorang bapak yang mengendarai mobil bak/ mobil 'buntung' mau memberikan tumpangannya, bapak ini juga memang sedang dalam perjalanan menuju Gilimanuk.
Jok depan mobil ini kosong, alias, bapak ini seorang diri. Kami dipersilakan untuk duduk di depan, di sampingnya, sementara carrier kami simpan di bak/belakang mobil.
(Terimakasih bapak Madura yang baik hati, maaf, saya lupa nama bapak).


masih bersambung...>>>

<insanpenyendiri>

Restu Perjalanan (Coretan yang "terbuang") #5

28 Agustus ‘08
(Hari Kesembilanbelas) Monang Maning, Denpasar

“Trimakasih, Bli Putu, hati-hati di jalan…”, tak lupa aku mengucapkan terimakasih dan memberikan delapan puluh ribu rupiah kepada Bli Putu sesampainya kami di pusat kota Denpasar. (Bli Putu adalah warga asli Bali yang berprofesi sebagai sopir ekspedisi).
Soe dan aku turun dari truk fuso itu, tepat di sebuah perempatan jalan. Kemudian kami mulai mencari kendaraan yang menuju Monang Maning untuk selanjutnya kembali ke rumah keluarga Pa’ Aceng, berniat merepotkan mereka lagi… (Hihi..).

Kisaran pkl.10.00 WITA kami tiba di Banjar Monang Maning. Dari etalase kaca warung aku sudah dapat melihat Bu Aceng, beliau sedang melayani seorang pembeli yang sedang berbelanja di warungnya. Mengetahui akan kedatangan kami, beliau kemudian menyapa, 
“ehhh.., kamu toh…, kpan nyampenya? Dari Lombok kapan? Ketemu sama mas Alex?”, aku dan Soe kemudian menjawab pertanyaan itu. Semakin lama semakin banyak pertanyaan yang dilayangkan oleh bu Aceng, akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu berbuntut panjang berbuah menjadi perbincangan…
Hari ini Soe dan aku istirahat total di Monang Maning, tidak berencana untuk keluar dari tempat ini. Seluruh anggota badan diistirahatkan dari aktivitas-aktivitas yang dapat menguras banyak energi, kecuali otak. Malam harinya, Soe dan aku berdiskusi guna menentukan tujuan perjalanan esok hari di pulau ini. Satu tempat akhirnya disepakati untuk dikunjungi esok hari.
Seperti kebanyakan manusia normal lainnya, malam ini pun kami berangkat tidur..., begitu nyenyak, meski masih diiringi kicauan sayap nyamuk. khas daerah dataran rendah...

29 Agustus ‘08
(Hari Keduapuluh) Denpasar – Kintamani - Pura Besakih, Karangasem

Monica masih belum pulang dari tempatnya bekerja, ini menandakan juga kalau Soe dan aku belum bisa berangkat sekarang. Karena satu-satunya cara agar kami dapat pergi adalah dengan meminjam motor yang sekarang ini masih dipakai oleh Monica. Bukan kami tak ingin menggunakan jasa transportasi angkutan umum, tetapi, kami tidak mampu untuk membayar ongkosnya…
Siang hari Monica akhirnya tiba di rumah, tak ketinggalan pula motornya (hihiii..). Si muka tebal ini kemudian berpamitan dengan keluarga bapak Aceng, meminta ijin untuk keluar dan menggunakan motor.

Perjalan dua jam lebih telah ditempuh, melewati daerah Sukawati, Gianyar, Bangli, lalu kami sengaja menyempatkan mampir di daerah Kintamani untuk melihat keelokan danau dan gunung Batur dari kejauhan.
Namun sayang, cuaca yang mendung di hari ini membuat keindahaan danau dan gunung Batur yang kami saksikan dari tempat ini harus kehilangan sedikit ‘gregetnya’. Walau demikian, kami tetap tidak kecewa, bahkan cukup puas dan bersyukur karena sudah diberikan kesempatan untuk dapat melihatnya… Trimakasih Tuhan.
Danau-gunung Batur vs. Bakso
Suasana disini jelas mampu membuat betah para pelancong. Selain karena pemandangan yang indah, suhu udara di daerah ini juga terbilang sejuk, dilengkapi lagi dengan ditemuinya para pedagang di sepanjang jalan yang menawarkan berbagai macam jajanan hangat, seperti bakso dan mie rebus contohnya. Hmmm, sangat klop bukan, menikmati indahnya danau dan gunung Batur di daerah bersuhu dingin sambil menyantap hidangan bakso yang masih hangat…?
Hal itu pula yang kami rasakan sekarang. Melihat suguhan makanan yang menggiurkan langsung membuat nafsu makan kami naik ke level yang paling tinggi.
Dua mangkuk bakso pesanan sudah tersaji di depan mata. Dan dalam sekejap saja isi mangkuk sudah lenyap... (Hihii..). Terang saja kami cepat menghabiskan makanan itu, ternyata kami baru ingat, kalau tadi sebelum berangkat kami lupa untuk mengisi perut. Hmmm…


Soe, mangkuk bakso dan seorang ibu yang menawarkan aksesoris


danau Batur


gunung Batur

Setelah dirasa cukup puas menikmati indahnya danau dan gunung Batur, kami lantas beranjak menuju Pura Besakih. Pkl. 17.15 WITA motor pinjaman dititipkan di pelataran parkir Pura, kemudian kami melangkah, berjalan masuk ke dalam Pura. Baru beberapa meter berjalan, langkah kami terhenti, seseorang memanggil, 
“Mas, mau kemana mas?” Tanya dari seorang pria yang berpakaian adat Bali. “mau ke pura, mas”, jawabku. “Oooo, sini dulu mas, ke Pos dulu”, pria ini mengarahkan kami untuk singgah dulu di pos. Pos yang aku tak mengerti. “Hmm, apa maksudnya Pos??”, hatiku kembali ikut bicara. Akhirnya kami mengikuti arahan dari pria itu, kami pun menuju pos yang dimaksud.
Sekarang baru aku mengerti, kalau ingin mengunjungi Pura, semua orang harus mengenakan pakaian yang menutupi kaki. Terserah, mau mengenakan kain panjang atau celana panjang. Syarat yang kedua adalah setiap pengunjung harus didampingi oleh ‘guide’. 
“Haaaaahh”, kaget dan pasti melongo wajah kami saat mengetahui dan menyadari bahwa saat ini kami hanya mengenakan celana pendek dan sisa uang yang ada di kantong cuma Rp. 77.800,-
Syarat-syarat yang diwajibkan ini akhirnya memaksa kami untuk menyewa dua lembar kain, belum lagi rupiah yang dikeluarkan pasti akan membengkak untuk membayar ‘guide’. 
“Waduuhh…, cukup ngga yah nih duit??”
Sudah ‘tanggung’ sekarang. Kami sudah berada di sini, depan Pura Agung Besakih. Tak mungkin untuk melewatkan kesempatan mengunjungi Pura ini.
Dua lembar kain sudah dikenakan dan kedua kaki sudah tertutupi. Dengan melalui proses alot tawar menawar, akhirnya kami merogoh kocek Rp. 30.000 untuk biaya sewa dua lembar kain. Selesai sudah ‘urusan’ kain, bersisa ‘masalah’ untuk membayar ‘guide’.
Rp. 200.000,- dibunuh oleh Rp. 20.000,-
Salah satu pria yang berjaga di pos menyodorkan sebuah buku. Ini adalah buku tamu para pengunjung. Di buku ini tercantum daftar nama-nama orang atau rombongan yang berkunjung ke pura, berikut dengan tabel di sebelah kanannya yang memperlihatkan dengan jelas besaran rupiah yang dikeluarkan untuk membayar upah ‘guide’.
Aku kemudian memegang pena dan mulai menuliskan namaku dan Soe di buku itu. Sempat terhenti aku menulis ketika melihat nilai rupiah yang telah lebih dulu diisi oleh pengunjung-pengunjung sebelum kami. Di sini tertera nilai rp. 200.000; rp. 400.000, bahkan ada yang mencapai angka rp. 500.000. Seolah tidak yakin melihat angka-angka tersebut, aku kembali membolak-balikkan kertas buku itu, namun tetap saja sia-sia… Tak ada nilai puluhan ribu yang tertera, dan yang paling kecil adalah rp. 175.000. Soe dan aku saling memandang, kami berdiskusi sejenak untuk menentukan nilai rupiah yang akan kami keluarkan. Belum selesai kami berdiskusi, pria yang bertugas melayani para tamu ini kemudian menjelaskan,
”mas, untuk membayar jasa ‘guide’nya berapa aja, teserah, serelanya dan semampunya…”. Mendengar hal ini, aku dan Soe seolah sedang meihat pintu pura Besakih yang terbuka lebar. Dengan keyakinan penuh namun sedikit rasa malu, akhirnya aku menuliskan jumlah rupiah yang akan diberikan untuk jasa ‘guide’. Jelas angka rp. 20.000 yang aku guratkan dengan pena, angka yang membunuh serentetan angka-angka di atasnya… (Hihiii…). Kemudian, masuklah kami ke dalam Pura Agung Besakih, dengan langkah yang ringan dan dada dibusungkan… (terlampau bahagia karena bisa masuk ke dalam pura, atau… dengan nilai rp. 20.000…?? “weeewww”)


Besakih di transisi penguasa langit



Di dalam pura kemudian sang ‘guide’ menjalankan tugasnya dengan baik. Beliau menjelaskan semua tentang pura Besakih, mulai dari sejarah, kegunaan dan hal-hal menarik yang terdapat dari pura ini. Sampai tiba pada suatu perbincangan mengenai gunung Agung. Soe dan aku banyak bertanya mengenai gunung Agung, berharap siapa tahu suatu saat kami berkesempatan untuk mendaki gunung ini. Beberapa pertanyaan yang kami sampaikan adalah; pertanyaan tentang jalur pendakian, syarat-syarat, dll. Pertanyaan-pertanyaan ini juga mampu dijawab olehnya, dan jelas saja ia tahu banyak tentang seluk-beluk gunung Agung. Selain ia berprofesi sebagai ‘guide’ pura, beliau juga memiliki pekerjaan sampingan untuk memandu para turis mendaki gunung Agung. Mendengar pemaparannya membuat ketertarikanku dan Soe kembali meningkat, -walau hari ini kemolekan gunung Agung tak terlihat karena cuaca yang mendung-, sebetulnya kami ingin sekali mendaki gunung ini. Kapan lagi kesempatan ini datang, mumpung sekarang kami ada di pulau ini, Bali. Mengingat juga akan perjuangan kami sebelum berangkat kesini, rasanya akan sangat sulit untuk mengulang perjalanan ini di kemudian hari.
Lalu sang ‘guide’ juga mempromosikan dirinya, saat ia menjelaskan upah yang biasa didapat saat memandu para pelancong.
“minimum rp. 250.000 saya dibayar oleh orang-orang yang saya antar”, katanya. “Oooo..”, cuma satu kata itu yang bisa membalas kalimatnya. Aku pun berandai-andai, kalau aku dan Soe berkesempatan untuk mendaki Agung, kami tidak mungkin menggunakan jasa pemandu… Alasannya sudah jelas, bukannya kami tak ingin, melainkan kami tak mampu…
Hari semakin sore dan waktu kunjungan Pura sudah selesai. Sebelum kami berpisah dengan “guide’, ‘guide’ ini berkata, 
“mas, ini nomor handphone saya, kalo memang tertarik mendaki, silakan hubungi saya ya.., karena peraturan sekarang tidak mengijinkan pendaki untuk naik ke gunung Agung kalo tidak didampingi oleh ‘guide’. Peraturan ini dibuat karena pertimbangan ‘insiden’ beberapa waktu lalu, pas ada tiga orang pendaki hilang dan satu orang belum ditemukan sampai sekarang…”. Kami menjawab,”iya, Bli, pasti nanti kami hubungi seandainya kami mau mendaki…”
Pkl. 18.30 WITA kunjungan ini berakhir.


dua lagi insan baik
Kemudian kami berjalan keluar dari area pura, berjalan menuju sebuah warung nasi yang tepat berada di sebelah Pos Polisi Besakih. Di warung ini kami bertemu dua orang yang sedang ‘ngopi’, nampak juga dua piring kosong tergeletak di meja, di depan mereka. Satu buah carrier dan tas kecil yang sedang tiduran di kolong bangku menguatkan prediksi bahwa, nampaknya mereka akan pergi mendaki.
Berlagak ‘sok akrab, kami menghampiri mereka, berkenalan dan berbincang (Ari dan Iqnal namanya). Benar memang kalau mereka akan mendaki gunung Agung malam ini. Tapi aku tak melihat seorang ‘guide’ disini. Hal ini pula yang aku tanyakan pada mereka. Mereka lalu menjelaskan, 
“kalo memang ga punya cukup uang ga usah pake ‘guide’ juga ga apa-apa kq, yang penting kita ngelapor aja di Pos polisi sini”, tuturnya. “Mmm, gitu ya…”,reaksi kami.
Salah satu dari mereka kemudian menawari kami ‘kopi dan rokok. Kami menolak tawaran itu, canggung dan malu, walau mulut ini sangat ingin untuk merokok dan ‘ngopi’, selain itu, kami juga tidak bisa berlama-lama lagi di tempat ini, karena harus mengembalikan motor yang semenjak tadi siang sudah kami pinjam. Tapi Ari tetap memaksa, 
“udah, santai aja. Ngopi dulu disini.., sebentar doang.., paling juga berapa lama sih ngopi?! ini rokoknya, isep aja…”. Jujur, saat ini kami sedang tidak mengharapkan hal-hal yang gratis, kami juga cukup sadar diri, selama perjalanan sembilan belas hari ini kami telah banyak mendapat bantuan-pertolongan dari orang-orang yang tulus. Kami merasa sangat malu, namun di lain pihak kami pun tidak bisa untuk menolak rejeki, apalagi dari seseorang yang memang murni dan berniat baik. (selain karena..., jumlah uang di kantong kami yang bersisa dua puluh ribuan, tak mungkin untuk membeli kopi dan rokok. Uang itu hanya cukup untuk mengisi bensin, nyawa perjalanan pulang {Hihi...})
Lagi-lagi benda-benda gratis ini masuk ke dalam tubuh kami.
Tiga puluh menit berlalu, saatnya mereka untuk pergi mendaki dan kami harus pulang. Tak lupa bertukar nomor telepon sebelum kami berpisah, 
"besok mampir ya ke rumah, jangan sampe nggak!", itu adalah undangan dari Ari pada kami untuk mengunjungi kediamannya, selepas mereka turun dari gunung Agung. "Ok, pasti dihubungi, pasti nanti mampir kesana. Makasih buat smuanya. ati-ati di dalem utan...". Soe dan aku mengucapkan kalimat itu, dan kami berpisah.


tengah: Ari, kanan: Iqnal
pose dua pribadi penolong, gambar diambil sesaat sebelum mereka mendaki gunung Agung.


<Mereka akhirnya menambah catatan perjalananku, nama mereka telah terpampang dalam daftar catatan orang-orang baik yang kami jumpai selama perjalanan.>

30 Agustus '08
(Hari Keduapuluhsatu) Pantai Sanur, Denpasar

Ini adalah hari Sabtu, hari yang harus diisi dengan bersantai.
Monica dan temannya berencana akan ke Pantai Sanur sore ini. Soe dan aku juga diajak, pkl 17.00 kami berempat menuju kesana. Monica berboncengan dengan temannya, menggunakan motor miliknya. Lantas bagaimana dengan kami? Jangan khawatir, di rumah ini masih ada satu sepeda motor yang sedang ‘nganggur’. Motor milik Pa Aceng tidak terpakai, kami menggunakan motor ini. (hihi…).
Menuju pantai Sanur tidaklah sulit, letaknya masih di kota Denpasar, berkendara motor dari pusat kota hanya akan memakan waktu tidak lebih dari dua puluh menit untuk mencapainya.
Tak jauh berbeda dengan pantai Senggigi di Lombok, pantai Sanur di Bali ini juga merupakan pantai yang diminati oleh masyarakat Denpasar. Pengunjung biasanya akan meramaikan pantai ini di hari-hari libur. Sama seperti hari ini, pantai Sanur sangat ramai, para pelancong dari sekitar Denpasar atau dari luar daerah beramai-ramai datang memenuhi tempat ini. Anak-anak kecil terlihat sedang bermain pasir di pesisir, ada juga yang berenang di tepian. Lain lagi dengan orang-orang dewasa, mereka lebih memilih untuk bermain kano.
akhirnya..., jadi juga bermain kano
Paling banyak alasan dari mereka yang mengunjungi tempat ini adalah untuk bermain kano, sama persis seperti tujuan Monica. Ia, yang sudah lama tinggal di Denpasar juga seperti tidak bosan-bosan untuk menghabiskan waktu di Sabtu sore dengan berkunjung ke Sanur, hanya untuk bermain kano. 
“Hmmm, emang kaya gimana sih enaknya bermain kano?”, seperti biasa, hatiku ikut berbicara lagi.
Tidak seperti waktu di Senggigi, saat aku melewatkan kesempatan untuk bermain kano. Sekarang, aku dan Soe benar-benar ingin mencobanya. Kami mendatangi salah satu orang yang menyewakan kano –dari sekian banyak orang yang juga menyewakan kano-.
Harga sewanya cukup murah, hanya rp. 7.500, saat ini. Soe dan aku langsung mencoba olahraga ini. 
“Yuhu.., emang bener asik nih maen kano”.
Menyenangkan dan segar olahraga ini. Sore hari bermain kano memang menyenangkan, di saat keberadaan matahari sudah tak terlihat, tak mampu untuk membakar kulit. Kulit tetap aman, semua orang tak perlu khawatir untuk gosong.

suasana di pantai Sanur

Langit sudah gelap, permainan kano dihentikan. Aku menuju kamar kecil untuk membilas tubuh. Namun pijakan kaki dihentikan saat aku teringat sesuatu, aku berbalik arah, berjalan menuju tempat parkir, sambil bicara pelan pada Soe, 
”eh, mendingan kita mandi di Monang Maning aja, Soe.. Pengiritan lu teh…” (Gubrag…)

31 Agustus '08
(Hari Keduapuluhdua) Alun-alun Puputan, Renon, Denpasar

Kami akan membayar janji hari ini. Setelah Ari menghubungi kami tadi pagi, yang menanyakan, 
“gimana, jadi dateng ke rumah? Saya udah di Renon nih. Ayo kesini, mumpung skrg hari minggu, jadi saya masih off”“Iya, tapi nanti siang kesananya”demikian aku menjawab.
Siang hari, sekitar pkl 14.00 WITA, kami berkendara menuju rumah Ari, di Renon letaknya. Dalam perjalanan kami melihat sebuah tempat yang ramai. Tertarik dan ingin tahu lebih jauh, lalu Soe menurunkan kecepatan laju motor, berbelok menuju tempat tersebut.
Motor Pa’ Aceng disimpan di tempat parkir, kemudian kami melangkah masuk ke area ini. Setelah diselidiki, kami baru mengetahui nama tempat ini. Tempat ini adalah alun-alun Puputan. Alun-alun Puputan mempunyai cirri khas yang tidak ditemui di tempat lain, yaitu berdirinya sebuah patung di atas monumen yang berbentuk orang. Di patung ini terlihat ada tiga orang sedang berdiri sambil memegang senjata tradisional, mengenakan ikatan kain merah-putih yang melingkar di kepala. Hal ini mengisahkan sejarah rakyat Bali yang berperang puputan (sampai mati) dari semua kasta untuk melawan kolonial Belanda. Perang puputan itu dipimpin oleh seorang serdadu Belanda asli Bali bernama I Gusti Ngurah Rai.


dua gembel, latar belakang Patung Puputan

Dirasa sudah cukup puas mengunjungi alun-alun Puputan, kami melanjutkan lagi perjalanan. Namun godaan untuk singgah di tempat lain tidak dapat kami tolak. Megahnya Monumen Perjuangan Rakyat Bali yang berada di daerah Renon juga kami datangi.
Sayang beribu sayang, untuk masuk ke tempat ini tidak gratis. Kami melihat daftar harga yang terpampang di kaca ruang loket. Kondisi keuangan yang semakin menipis memaksa kami harus berhitung sebelum mengeluarkannya, dan sekarang kami cukup puas untuk melihatnya hanya dari depan, walau sebetulnya bisa saja kami membayar untuk masuk.
Namun Sisa uang yang masih ada kami simpan untuk tujuan mendaki gunung. (maklum.., kami hanya dua orang backpackers gembel yang hanya akan mati-matian mengeluarkan uang kalau untuk mendaki gunung, hihi)



Monumen Perjuangan Rakyat Bali

Tidak jauh dari tempat ini (Monumen Perjuangan Rakyat Bali), kemudian kami menuju sebuah kantor pos, tempat yang ditunjuk sebagai lokasi pertemuan kami dengan Ari. Tak menunggu lama lalu Ari datang, dan kami bertiga sekarang menuju rumahnya.


Soe dan Ari, di depan kantor pos Renon, Denpasar

Tiba di kediaman Ari, motor Pa’ Aceng pun langsung diparkirkan, persis berdiri diam di sebelah motornya Ari.
Ari tidak sendirian di rumah ini, pria asal Semarang ini tinggal berdua dengan teman satu kantornya. Mereka bekerja sebagai karyawan di salah satu kantor pemerintahan di daerah Renon.
trimakasih, pria Semarang...
Layaknya seorang tuan rumah menyambut tamu, Ari mempersilakan kami duduk, ditemani dengan suguhan 'softdrink' dingin. Perbincangan dimulai sampai ia kemudian menceritakan pengalaman mendaki Agung dua hari kemarin. Mendengar kisah dari Ari, membuat hasrat kami untuk merasakan belaian angin dingin gunung Agung semakin melonjak. Dalam selingan perbincangan, Soe dan aku kembali berdiskusi, 
“Soe,coba kita tanya sama mas Ari, kalo nyewa motor di Denpasar berapa? Trus nyewanya dimana?. Kalo emangnya ada tempat nyewa motor yang murah, besok kita berangkat ke Agung.” Pertanyaan itu langsung diutarakan pada Ari. Ia menjawab, “Saya nggak tau kalo tempat nyewa motor, emangnya pada mau kemana? Nah, motor yang dibawa sekarang emangnya kenapa?” Lalu kami menjelaskan tentang niat kami, bahwa kami berencana akan mendaki gunung Agung esok hari. Sementara motor yang kami pakai sekarang adalah motor Pa’ Aceng, yang tak mungkin kami pinjam kalau untuk jangka waktu yang relatif lama (karena, setiap pagi Pa' Aceng pasti menggunakan motornya untuk pergi ke pasar)

Ari memang bagaikan ‘sponsorship’ tanpa label. Pria yang sangat baik ini dengan ikhlas menawarkan motornya, “Oo, gitu ya. Saya emang beneran ga tau kalo nyewa motor disini itu dimana.., pake aja motor saya. Kalo saya gampang disini, tempat kerja saya deket dari sini. Temen saya juga ada motor, jadinya kalo pergi kerja bisa nebeng sama dia. Lagian kalo kalian pake angkutan umum ke Besakih pasti mahal banget! udah..., santai aja, pake aja motor saya...”.
Bagi Soe dan aku, kejadian ini sangatlah aneh. Meski kami sudah menolak tawaran untuk menggunakan motornya, tapi Ari tetap memaksa, walau memang dengan alasan yang masuk akal.
Tetap saja…, sekali aneh tetap aneh. Ari memercayakan materinya yang tidak bernilai sedikit kepada dua orang asing yang baru saja dikenalnya.
Sepertinya memang tidak ada pilihan lain untuk menuju Agung dengan 
‘budget’ kami yang tinggal sedikit, sangat minim. Akhirnya kami menerima tawaran baik itu.
(Sungguh sebuah perjalanan yang direstui; 
Restu Perjalanan).

Singkatnya, kami pulang ke Monang Maning sore itu, mengembalikan motor Pa’ Aceng, berkemas menyiapkan perbekalan untuk ‘hiking’ ke Agung, lalu kembali ke Renon, kediaman Ari.
Sesuai dengan saran Ari, hari ini kami bermalam di rumahnya. Esok hari baru kami akan menuju gunung Agung...
{trimakasih saudara Ari, sangat terimakasih...}
(31 Agustus, hari pertama tarawih “munggah” di 2008)

bersambung...>>>

<insanpenyendiri>

Restu Perjalanan (Coretan yang "terbuang") #4

22 Agustus '08
(Hari Ketigabelas) Mataram <"Nongkrong" di Jl. Udayana>

Warung-warung tenda berjejer panjang, saling menyambung di sebelah bahu jalan, suasana malam di tempat ini cukup meriah dipenuhi dengan cahaya-cahaya lampu yang bertebaran di sepanjang jalan. (sekarang semuanya nyata, aku tak sedang berkhayal; “aku melihat sendiri lampu-lampu ini”)
Di salah satu warung tenda itu kami memilih untuk ‘nongkrong’, santai menikmati kopi di jalan paling terkenal kota Mataram, jalan Udayana. Sedikit menjorok dari trotoar, kami duduk beralas tikar, ala lesehan. Seorang wanita yang melayani kemudian meletakkan gelas -gelas pesanan kami yang berisi kopi, susu, kopi susu dan bandrek. Pelayan ini boleh dibilang cukup cantik. Digodai? Harus dan wajib itu… Celotehan-celotehan dari kami saling berbalas, menggoda wanita itu (hihi…).
Jalan Udayana ini cukup lumayan bila dijadikan sasaran untuk melepaskan jenuh sehabis ‘keluar’ dari hutan, selain itu harga yang ditawarkan oleh para pedagang relatif murah, sangat cocok dengan kantong para backpacker. Kalau di malam minggu, tempat ini sangat ramai dipenuhi muda mudi -yang sering dikenal dengan sebutan ‘anak gaul’-. Mereka biasanya berkumpul dengan teman-teman sebayanya atau berjanjian dengan sang kekasih untuk sekedar melepas rindu..


Jl. Udayana, Mataram

Selesai mengunjungi jalan Udayana, kemudian kami melanjutkan acara malam ini menuju warung makan, kepunyaan ibunya Ating. Amir dan Lana mempunyai sebutannya sendiri untuk menyapa ibunya Ating, mereka memanggilnya dengan sebutan “Cik’ Yem”, entah apa arti sebutan itu –sampai hari inipun aku tak tahu-. Soe dan aku makan malam disini.., pasti sudah dapat diterka, ya.., yang ini juga ‘gratisan’. Hihi.. (trimakasih Ating dan juga “Cik ‘Yem”)



23 Agustus '08
(Hari Keempatbelas) Mataram, menengok UNRAM

Sedikit hal yang aku masih ingat di hari ini. Di hari ini aku dan Soe tidak berkeliling di kota Mataram. Malam hari, dengan menggunakan sepeda motor, Amir mengajakku untuk melihat kampus Universitas Mataram. Setibanya kami disana, aku kemudian hanya menjepret beberapa gambar yang hasilnya juga ‘ngeblur’.


Gambar ini diambil dari pelataran Gedung Rektorat.

Selama perjalanan pulang menuju rumah Amir, kedua mataku berkeliaran memperhatikan setiap aktivitas di sudut-sudut kota Mataram yang dilewati. Tak banyak hal menarik yang ditemui, Mataram di tengah malam adalah kota yang sepi, jauh berbeda bila harus dibandingkan dengan kota besar sekaliber Jakarta atau Surabaya. 
“Yo, besok kita jalan-jalan ke pantai..” Dalam perbincangan melalui telepon genggam, mas Alex berjanji akan bertemu kami esok hari, beliau mengajak kami untuk menyambangi sebuah pantai yang terletak di Pulau Lombok ini. Tak mungkin aku menolaknya, secepat kilat langsung ku’jawab,”Siap, mas. Jam brapa besok ketemuannya?...” Di akhir perbincangan, aku kembali memastikan, “ok, Mas. Besok ditunggu ya!”


24 Agustus ‘08
(Hari Kelimabelas) Mataram, Pantai Senggigi.

Setelah selesai dengan tugas-tugas kantor dan waktu bekerja, mas Alex tiba juga di rumah Amir, kira2 pukul 14.00 WITA. Tak ingin membuang waktu percuma, tiga sepeda motor berpenumpang lima pria manis segera berangkat menuju pantai yang dimaksud.
Lima orang pria manis bergaya, sekarang waktunya berfoto (hihii). Walau semanis apapun ke-5 pria tadi, tetap saja mereka kalah manis bila dibandingkan dengan wajah pantai itu sendiri.

"
wajah Senggigi"

Hari ini pantai Senggigi ramai pengunjung, lebih didominasi oleh turis lokal. Selain sebagai salah satu tujuan wisata pantai di Lombok, objek ini juga merupakan salah satu pantai kebanggaan masyarakat Mataram dan Lombok pada umumnya. Di sekitar pinggir pantai dipadati oleh para pedagang, mayoritas dari mereka menawarkan jagung bakar dan kelapa muda sebagai andalan dagangannya.
Mas Alex memilih bermain kano dan berenang untuk mengisi waktu di pantai ini, Darwin (adiknya Amir) dan Lana asyik bermain pasir, sementara…, Soe dan aku sibuk mengorek-ngorek sisa daging dari buah kelapa muda (hihiii…).


mas Alex kano'an

Soe ngorek-ngorek kelapa muda (makanan teruuussss)

Matahari sebentar lagi akan tenggelam, mas Alex menyarankan agar kami berpindah tempat, mencari tempat berpandangan lebih indah untuk menyaksikan ‘sunset’. Berjarak kira-kira 500 meter dari tempat tadi, sekarang kami menemukan lokasi yang cocok untuk menonton film yang berjudul; “Siaran Langsung Matahari Terbenam di Senggigi”


matahari terbenam di Senggigi


panggilan dari gunung Agung?


25 Agustus ‘08
(Hari Keenambelas) Mataram, Pantai Ampenan

Hampir seperti ‘kalong’, begitulah kehidupan Soe dan aku di Mataram. Siang hari kami hanya diam di rumah, malam hari barulah keluar sarang. Tengah malam buta kami diajak Amir untuk melihat pantai Ampenan, kami menerima tawaran itu. Satu motor dinaiki tiga orang (perbuatan melanggar hukum yang tidak patut ditiru, hihii..). Tak ada foto yang direkam malam itu, kenangan akan pantai Ampenan hanya ada di isi kepala kami.


26 Agustus ‘08
(Hari Ketujuhbelas) Mataram, Taman Narmada "Istana Musim Kemarau"

Istilah ‘kalong’ hari ini tidak terpakai. Siang hari kami sudah ada di luar sarang. Tujuan hari ini adalah Taman Narmada. Sebuah taman yang terletak tidak jauh dari pusat kota Mataram. Mengingat akan kenangan mengunjungi taman ini, aku jadi teringat akan sejarahnya. Berikut sedikit informasi mengenai Taman Narmada; 
http://cybertech.cbn.net.id/cbprtl/c...vel|3|0|3|1294

Beberapa gambar yang diambil saat kami mengunjungi Taman Narmada,


karcis masuk Taman Narmada




miniatur Danau Segara Anak




Dawin, Soe, Amir dan Didi
wajah-wajah lapar, menunggu sate pesanan



tangga seribu


27 Agustus ‘08
(Hari Kedelapanbelas) Mataram, Lombok – Denpasar, Bali

Belaian angin malam Mataram yang terakhir
Carrier sudah terlihat penuh kembali, semua peralatan sudah masuk ke tempatnya semula. Soe dan aku bersamaan mengangkat carrier kami masing-masing, sekarang waktunya untuk pergi meninggalkan Lombok.
Dari kediaman Amir kami beranjak menuju Cakranegara, untuk berpamitan dengan ibunya Amir dan ‘Cik Yem’. Selesai berpamitan, mas Alex, Lana, Amir dan Ating lalu mengantarkan dua manusia kecil itu menuju pelabuhan Lembar.
perpisahan dengan 'Cik Yem'



dari kiri; ibunya Amir, Soe dan mas Alex


Pkl. 19.00 WITA aku sudah berada di jalanan kota Mataram, sedang dalam perjalanan menuju pelabuhan Lembar. Duduk terdiam di kursi belakang sepeda motor yang dikendarai mas Alex.
Di atas sepeda motor ini angin kencang menyapaku, membuat rambutku yang sudah berantakan menjadi semakin tak karuan lagi karena hembusannya.
Namun hembusan angin ini terasa berbeda, kali ini sang angin tidak cukup mampu untuk menyejukkan suasana hatiku..., hati'ku yang tetap saja berontak, tidak merelakan tubuhku pergi. Ia merengek, memohon untuk tetap tinggal..., tak setuju dengan keputusan otak yang berkata,
“tidak bisa!”.
Melewati hari-hari dengan orang-orang yang sebelumnya tidak kami kenali, menjalani waktu bersama, memetik kenangan dan meraih kemenangan bersama..., dengan alasan-alasan itulah memang dapat dimaklumi mengapa hati ini tidak merelakan aku pergi…, pergi meninggalkan mereka-mereka yang sekarang lebih pantas disebut saudara...
memilih truk fuso
Di depan Pos jaga akses masuk pelabuhan itu para saudara pengantar mematikan mesin motornya, menurunkan Soe dan aku yang sebentar lagi akan pergi, berlayar menuju Bali.
Cara bertransportasi kali ini sedikit berbeda, tidak seperti saat keberangkatan. Kali ini Soe dan aku tidak membeli tiket untuk menyebrang, kami memilih untuk menumpang truk yang akan menuju pulau Bali. Ide ini didapat dari mas Alex yang menyarankan, 
“mendingan naik truk aja, bayar aja sama sopir truknya. Lebih murah begitu daripada beli tiket di pelabuhan. Soalnya kalo kalian estafet, nanti di Padangbainya juga naik angkutan lagi ke Denpasar, jatohnya jadi lebih mahal. Kalian numpang truk disini aja, cari truk yang langsung ke Denpasar, paling mahal juga 40 ribu, kasih aja sama sopirnya”. Sebuah truk akhirnya didapat, setelah kami menunggu kira-kira lima belas menit. “Deal” dengan sang sopir, kami pun bersalaman dan berpelukan dengan mas Alex, Amir, Lana juga Ating, sebelum akhirnya kami naik ke atas truk. Haru bercampur sedih, membuat lidah membeku, lidah yang biasanya senantisa menari lincah, sekarang ini hanya dapat terdiam. Sulit untuk berkata… Saat ini hanya air muka yang mampu tuk berkata, lugas menyampaikan berbagai pesan melalui perubahan mimik wajahnya… , selamat tinggal tetangga pulau, selamat tinggal saudara…
Selamat tinggal pulau Lombok, selamat datang pulau Dewata
Truk fuso yang kami tumpangi telah berhasil masuk dan parkir dengan sempurna di dalam fery. Soe dan aku kemudian turun dari truk,lalu meniti anak tangga, naik ke geladak.
Di atas geladak kapal aku meletakkan bokong, duduk dengan kaki ditekuk lalu dirapatkan, sementara tangan merangkul kedua kaki, dagu bertopang dengkul. Mataku menerawang, memandang ke sekeliling, menyaksikan pelabuhan Lembar yang mulai menjauh, air laut yang membentang memberikan jarak antara aku dan Lombok… Saat ini aku benar-benar ingin sekali memeluk pulau itu…, namun hanya angin laut yang merangkul tubuh, dingin meresap merasuk ke dalam pori-pori kulit… Dari arah yang berlawanan, berdatangan kapal-kapal fery berpenumpang yang siap untuk berlabuh di Lembar. Pelabuhan Lembar pasti menyambut mereka dengan mengucapkan selamat datang. Aku malah sebaliknya, berbalik arah dan harus meninggalkan pulau itu…
“Haaah…, berakhir sudah perjalananku di pulau Lombok…”, kupalingkan wajahku kearah barat, melihat sesuatu yang ada di depan sana… Di barat sana Bali telah siap menanti untuk memberikan kisahnya, kisah yang dua minggu lalu belum sempat kami torehkan…Apa yang akan terjadi di Pulau Dewata nanti?, aku masih belum bisa menjawabnya...




lanjut...>>>

<insanpenyendiri>