Rabu, 08 Februari 2012

Restu Perjalanan (Coretan yang "terbuang") #1


"Terimakasih ya, semuanya...., udah mau direpotin. Ok deh, kami pamit sekarang....", kira-kira kalimat tersebut yang keluar dari mulut saat kami mengucapkan terimakasih dan salam perpisahan kepada teman tem
an di Jogja. Sekitar  pkl.20.00 WIB, dengan ditumpangi dua buah sepeda motor, dua orang dari anggota MAPALA itu kemudian mengantarkan kami menuju stasiun Lempuyangan.
Di dalam gerbong kereta ekonomi ini kepalaku mulai bergerak, menengok ke kiri dan ke kanan, mata pun ikut  berburu, mencari nomor tempat duduk sesuai dengan yang tercantum di tiket,  "yeah, dapat..", kuselipkan lembaran tiket ini di antara ke dua bibir sambil kutanggalkan beban  carrier yang menempel di bahu. "Hmmm, di dalam kereta lagi...", begitu pikirku. Tak lama berselang kereta mulai berjalan meninggalkan Jogjakarta dan juga meninggalkan semua waktu di tiga puluh hari yang kemarin, hanya menyisakan kenangan  dan sebuah cerita.. Terdengar sayup sayup suara di dalam hati yang berkata padaku...
" Akhirnya.., kamu pulang..."

begitulah akhir kisah perjalanan di 2008...



tulisan di atas bermula dari sini....


10 Agustus '08(Hari Pertama) Perjalanan menuju Bandung
Hujan yang turun mulai membasahi aspal jalanan saat kendaraan ini sedang melintas di jalan tol Cipularang, pertanda restu-Nya akan perjalanan kami yang baru saja dimulai ini -hujan berarti berkat dan rejeki, begitulah banyak orang menilainya-. Kurang dari tiga jam sampailah kami di Gerbang Tol Cileunyi (Pintu tol Bandung paling timur), perjalanan dilanjutkan menuju sebuah  Komplek Perumahan di daerah Bandung Timur, tempat kerabatku tinggal. Setengah hari Soe dan aku menumpang istirahat disana, kemudian  malam harinya kami beranjak ke daerah Setiabudi (masih di kota Bandung), Pirman, Hinu dan Fauzi yang mengantarkan kami kesana.

Setiabudi, Bandung
Wajah yang sangat kukenal itu menyambut dengan senyuman khasnya sesaat setelah kami tiba di Setiabudi, kemudian ia berkata "Udah gw tungguin dari tadi, malem amat datengnya, kirain sore mau kesininya...", dia adalah kakak perempuanku. Setelah berbincang sejenak kemudian ia mempersilakan kami tuk beristirahat, dan acara 'pemulihan tenaga' pun dimulai, diiringi dengan suara  khas dengkuran...
(hari ke-2 di Bandung diisi dengan aktivitas belanja kamera digital, melengkapi logistik dan mengecek ulang barang-barang).




12 Agustus '08(Hari Ketiga) Bandung - Surabaya
Pukul 04.00 WIB Soe dan aku sudah siap tuk berperang,  dinginnya suhu udara Bandung di pagi hari tak menyurutkan niat kami untuk tetap pergi, kami segera berkemas lalu bergerak menuju stasiun Kiaracondong. Matahari  belum nampak saat kami tiba disana, hari masih pagi dan para calon penumpang belum banyak berdatangan, hal ini tentu sangat menguntungkan, membuat kami tidak perlu berlama-lama antri untuk membeli tiket.
Akhirnya, raja siang itu menampakkan diri juga, sesaat kutengok jam di stasiun  telah menunjukkan pukul 06.10 WIB, yang artinya bila sesuai jadwal sebentar lagi kereta akan berangkat. Dan ternyata, kereta pagi ini berangkat sesuai jadwal (andai saja setiap hari seperti ini..). Suara mesin, hiruk pikuk dan hembusan angin yang masuk  melalui lubang jendela  turut mengiringi kepergian kami.
Suasana seperti ini ku'rasakan kembali -suasana yang membuat banyak orang merasa tidak nyaman- ,ya, suasana yang selalu ku'rindukan -walau terkadang jenuh-, saat para penumpang merasakan sesak dan panas berada dalam bongkahan logam ini;  saat suara-suara merdu mereka masih sedikit terdengar diantara "kerasnya suara-suara sumbang di luar sana"; saat melihat mereka yang tampak miskin sebetulnya bergelimang harta; saat tembok perbedaan warna kulit mampu dirobohkan (walaupun masih saja ada yang menyembah tembok-tembok itu); saat menyaksikan "mereka" berjuang untuk dapat tetap hidup dan menghidupi keluarganya.
...Di sanalah tempatnya... saat aku, anda, dia dan mereka belajar tentang hakikat dan arti hidup,,,, di dalam rangkaian gerbong kereta api ekonomi.


Surabaya Gubeng
Surabaya Gubeng sangat sepi setibanya kami disana, tepatnya pukul 23.20 WIB waktu itu, lalu kami berjalan ke arah papan informasi untuk melihat dan memastikan jadwal keberangkatan kereta api yang menuju Banyuwangi. Setelah melihat jadwal, kami lantas memutuskan untuk melanjutkan perjalanan esok hari dengan jadwal keberangkatan pukul 09.00 WIB.
Malam ini kami memilih tidur di bangku stasiun, tepat di samping ruang kontrol perlintasan/jalur. Setelah mendapatkan posisi tidur yang nyaman aku mulai mencoba tuk memejamkan mata ini, namun gagal, jumlah nyamuk yang sangat banyak begitu mengganggu.. membuat sulit sekali untuk tertidur.
Namun lelah yang teramat sangat akhirnya membuatku harus menyerah dari keadaan terjaga, -seolah kebal dengan gigitan nyamuk-nyamuk ini- akupun tertidur dan terlelap...




13 Agustus '08(Hari Keempat) Surabaya - Banyuwangi - Denpasar
Setelah sebelumnya sempat mondar-mandir (Stasiun Gubeng - Terminal Bungurasih - St Gubeng), akhirnya kami memutuskan seperti rencana semula; melanjutkan perjalanan menuju Banyuwangi dengan menggunakan jasa kereta api (kelas bisnis)
Di Surabaya Gubeng pagi ini kami melihat sekelompok orang "berransel/bercarrier"  yang sedang duduk duduk di salah satu sudut stasiun, kemudian kami menghampiri & menyapa mereka. Acara mengobrol dimulai, (ternyata kami mempunyai tujuan yang sama; Pulau Lombok) mungkin karena kesamaan tujuan yang akhirnya membuat suasana semakin hangat dan 'bau' keakrabanpun smakin terasa...
...terlarut dengan asyiknya perbincangan..., ritual menunggu kereta bukan lagi agenda yang membosankan.. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan ternyata saat yang ditunggu telah tiba, ditandai dengan pergerakan dari para calon penumpang yang mulai berjalan menuju kereta.


Transisi waktu
Singkat cerita, kereta yang kami tumpangi tiba juga di Banyuwangi kira2 pkl.16.00 WIB. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan fery menuju Gilimanuk, lalu estafet dengan menggunakan bis yang selanjutnya mengantarkan kami sampai di Terminal Ubung, Denpasar.
"Padangbai... Padangbai..!!" kira2 pkl.21.00 WITA saat suara-suara keras dan lantang itu menyambut di Ubung. "Nggak pak, nggak..., saya mau ke Monang Maning", jawabku. Lalu Soe dan aku melangkah keluar menjauhi terminal. Setelah berjalan kaki kurang lebih 2 km sampailah di salah satu sudut jalan kota Denpasar, dan tepat di emperan toko itu kami  berhenti, beristirahat sambil menunggu sahabat yang akan datang menjemput. {makasih ya Monic, udah mau ngejemput 2 gembel ini...}



14 Agustus '08
(Hari Kelima) Denpasar, Denpasar - Padangbai - Lembar
Suhu udara yang terasa menyengat membangunkanku pagi ini,  di dalam ruangan kamar  sebuah rumah di daerah Monang Maning, rumah yang  merupakan kediaman keluarga Bpk Aceng, (keluarga yang selalu sudi memberi kami tumpangan).
Setelah selesai mandi dan sarapan, barulah kami menyempatkan diri tuk bercengkerama dengan seluruh anggota keluarga, karena tadi malam kami tidak sempat berbincang banyak.
Sore hari aku meminta ijin keluar rumah untuk sekedar 'mengetahui' keadaan kota Denpasar. Kami mulai beranjak dari Monang Maning (dengan bermodalkan sepeda motor pinjaman; lagi2 Pak Aceng yang memberikan pinjaman itu), tujuan pertama adalah melihat sunset di Pantai Kuta, kemudian dilanjutkan dengan berkeliling kota Denpasar.
Terasa sangat cepat hari ini berlalu, belum puas sebenarnya berkeliling, namun sore telah berganti malam dan akhirnya kami sepakat untuk menyudahi saat saat yang menyenangkan ini. Motorpun dibelokkan dan siap untuk dikembalikan, lalu kami kembali ke Monang Maning.
Terpaksa kami harus berpamitan dengan keluarga Bpk. Aceng,  padahal baru saja kami tiba disini, tapi mengingat masih ada hal yang harus dilakukan di depan sana, akhirnya kami harus tetap pergi malam itu.
Selamat tinggal Monang Maning, selamat tinggal Denpasar (kami akan kembali secepatnya...)

Padangbai
Kendaraan L-300 yang mengantarkan kami dari Ubung telah sampai di Padangbai, dan artinya Lombok telah menunggu di seberang sana. Enam puluh dua ribu rupiah kocek yang harus dikeluarkan saat  membeli tiket untuk penyeberangan, tanpa berlama lama lagi lantas kami segera melangkahkan kaki, mendekat dan masuk ke fery yang sebentar lagi akan berlayar.

Tanda tanya tanpa jawab
Gelombang laut malam ini cukup tinggi, membuat pelayaran sedikit terganggu dan  perjalanan pun lebih lama dari biasanya (waktu normal penyeberangan kira2 4 jam)
Lima jam telah berlalu namun pelabuhan Lembar masih belum nampak. Di bangku fery ini aku melamun, bertanya pada diriku sendiri "apa yang sebenarnya sedang kulakukan? apa yang sebenarnya kucari?", jawaban masih belum kutemukan ketika aku menoleh Soe yang sedang terlelap, "Haaaah, mendingan gw keluar ruangan aja deh, nikmatin angin laut malem hari, foto2 juga akh.." begitu gumamku dalam hati.



15 Agustus '08
(Hari Keenam) Lembar- Mataram - Sembalun - Pos 1
07.30 WIB/08.30 WITA fery ini akhirnya merapat di Lembar (Lembar adalah pelabuhan untuk akses pulau Lombok dari arah barat). Tidak sabar rasanya aku ingin segera keluar dari 'baja raksasa' ini. Dengan terburu buru, bergegas kami keluar dari fery, dan... Akhirnya....... sampailah aku di tanah Lombok ini, tanah yang telah tiga tahun ini selalu ku'impikan, tanah yang tadinya hanya bisa ku'lihat di Peta, namun kali ini aku sungguh berdiri di atasnya... Kobaran bahagia di dalam hati tak bisa ku'tumpahkan dengan berteriak-teriak atau bersorak-sorai, hanya berucap di dalam hati "Trimakasih TUHAN, sungguh terimakasih..."

Kangen Band menyambut, tak lama berselang setelah sang sopir memutar radio
"...cobalah kau mengerti... ...kuyakin kita mampu..." (suara pelantun wanita menyanyikan lagu kangen band versi dangdut),
suara ini terdengar sangat janggal di telinga dan mulai mengusik ketenanganku yang sedang asyik menikmati suasana Lombok dari kaca jendala mobil ini, Soe dan aku saling manatap, seperti dikomandokan kami berdua tersenyum dan bersamaan menggelengkan kepala, sepertinya kami berdua  sama-sama tidak menyukai lagu kangen band versi dangdut ini. Namun musik ini kemudian mulai menghipnotis kami, sampai tiba waktunya dimana kedua jempol tangan dan tumit akhirnya mulai bergoyang mengikuti alunan lagu (ternyata.., memang lebih asyik menikmati suasana Lombok dengan musik dangdut...)

Mas Alex batal Jumatan
Sosok pria bertubuh kekar yang sedang berdiri di bahu jalan itu sudah kukenali meski aku melihatnya dari kejauhan. "Stop disini, Pak" ucapku pada bapak sopir. Aku turun dari kendaraan "Kangen Band" ini lalu menyapa laki-laki itu "Halo mas, pa kabar mas? udah lama nunggunya?" dia adalah mas Alex, putra sulungnya Bpk. Aceng yang sedang merantau di Lombok (Ampenan tepatnya). Enam tahun yang lalu terakhir aku bertemu dengannya.
Beliau menyambut kedatangan kami dengan hangat, kami berbincang-bincang dan  kemudian beliau menanyakan perihal rencana kunjungan Soe dan aku di Lombok ini..
"kq buru-buru amat?, baru juga nyampe", kalimat tersebut yang terlontar dari mulut mas Alex, setelah aku menerangkan bahwa siang ini kami akan langsung melanjutkan perjalanan menuju  Sembalun. Mas Alex lantas bersiap diri untuk mengantarkan kami ke Aikmel. "Yo, aku antar", ajaknya. "Waaah, aku  jadi ngga Jumatan nih.. Ya udah deh ga pa pa, sekali-kali", dengan sedikit rasa penyesalan di hati akhirnya beliau merelakan juga di hari itu tidak sholat Jumat. {hihihi... maaaf ya mas Alex..., tapi makasih ya, udah mau direpotin... thx bgt mas}

Desa itu..., lembah...
Pkl. 16.00 WITA mobil sayur itu telah menyelesaikan tugasnya mengantarkan kami, saat Soe dan aku tiba di suatu desa yang nampak seperti terisolir (padahal tidak) -pemukiman penduduk ini sangat sunyi, namun asri dan indah karena dipagari oleh  barisan bukit/pegunungan yang  juga menyebabkan suhu udara disini begitu sejuk bahkan cenderung dingin, ya,  lembah ini; desa Sembalun Lawang-. "Ngga ada orang, euy. Pada kemana ya...?", Soe menginformasikan bahwa di Pos pendakian TNGR tidak ada orang yang berjaga. Hari menjelang Maghrib saat kami melihat ada orang yang datang. "Maaf mas tadi posnya ditinggal, soalnya saya ikut bantu-bantu warga sini untuk persiapan acara 17 Agustus nanti", kira kira begitulah pernyataan dari lelaki ini. Lalu ia membuka pintu kemudian kami dipersilakan masuk ke ruangan; untuk melapor dan menyelesaikan keperluan administrasi.
Setelah selesai dengan perijinan dan administrasi, Soe dan aku mulai mendiskusikan rencana selanjutnya, dan kami sepakat untuk memulai pendakian malam hari nanti.
Sore itu kami beristirahat di Pos pendakian. Semakin gelap semakin sunyi suasana disini, sementara dari kejauhan aku melihat cahaya-cahaya lampu dari iring-iringan mobil, dan sepertinya sang sopir menurunkan kecepatan laju kendaraannya, mobil itu semakin mendekat kemudian berbelok dan berhenti tepat di depan pos Pendakian. Keluarlah isi perut  dari 3 mobil itu dan nampak sekitar 15 orang berpakain pendaki sangat siap tuk 'berperang'. Suasana di sekitar pos berubah seketika, menjadi ramai dan seolah membunuh sunyi.

Memang 'harus' di Pos 1
Waktunya tiba, selesai berdoa untuk mohon ijin dari Yang Mahakuasa pendakianpun akhirnya dimulai. Bersama dengan rombongan pendaki yang baru datang, kami mulai mengayunkan langkah pertama. Tepat di belakang mereka kami berjalan, dan seperti biasa, akhirnya kami tidak dapat mengimbangi ritme jalan para pendaki yang lain -yang mungkin lebih berpengalaman-. Disisi lain, pendakian di musim kemarau ini menyebabkan debu-debu di sepanjang jalur menjadi terangkat oleh langkah kaki para pendaki, dan hal ini cukup merepotkan Soe dan aku yang masih berjalan tepat  di belakangnya. Sekitar pukul 23.00 kami sudah mulai tercecer jauh di belakang, semakin tidak dapat mengimbangi langkah kaki pendaki lain. "Aura-aura" menyerah dan semangat untuk tidur lebih besar dibandingkan dengan keinginan untuk terus berjalan. Sepertinya pos 2 hanya tetap menjadi impian di malam ini -rencananya memang kami akan bermalam disana, namun apa daya, Pos 1 masih belum terlihat , apalagi Pos 2..., sedangkan kondisi tubuh sudah sangat letih-.
Tiga jam telah berlalu dan tempat beratap itu mulai terlihat. Inilah yang disebut Pos 1. Bergegas kami menuju kesana, sementara rombangan yang tadi berjalan di depan kami sekarang sudah tidak terlihat lagi, seperti hilang tanpa jejak.
Setibanya di Pos 1, kami langsung membongkar semua perlengkapan kemudian mendirikan tenda dan merapikan ruangan dalamnya. Setelah selesai semua aku mengambil inisiatif untuk segera beristirahat, rasa kantuk ditambah lagi dengan kondisi tubuh yang sangat letih menyebabkan acara untuk makan atau memasak terpaksa batal, saat ini hanya ada satu kata; TIDUR. Tak lama kemudian kami tertidur...  (sambil bermimpi.., seakan tempat ini adalah Pos 2... ngareeep).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar