Rabu, 08 Februari 2012

Restu Perjalanan (Coretan yang "terbuang") #4

22 Agustus '08
(Hari Ketigabelas) Mataram <"Nongkrong" di Jl. Udayana>

Warung-warung tenda berjejer panjang, saling menyambung di sebelah bahu jalan, suasana malam di tempat ini cukup meriah dipenuhi dengan cahaya-cahaya lampu yang bertebaran di sepanjang jalan. (sekarang semuanya nyata, aku tak sedang berkhayal; “aku melihat sendiri lampu-lampu ini”)
Di salah satu warung tenda itu kami memilih untuk ‘nongkrong’, santai menikmati kopi di jalan paling terkenal kota Mataram, jalan Udayana. Sedikit menjorok dari trotoar, kami duduk beralas tikar, ala lesehan. Seorang wanita yang melayani kemudian meletakkan gelas -gelas pesanan kami yang berisi kopi, susu, kopi susu dan bandrek. Pelayan ini boleh dibilang cukup cantik. Digodai? Harus dan wajib itu… Celotehan-celotehan dari kami saling berbalas, menggoda wanita itu (hihi…).
Jalan Udayana ini cukup lumayan bila dijadikan sasaran untuk melepaskan jenuh sehabis ‘keluar’ dari hutan, selain itu harga yang ditawarkan oleh para pedagang relatif murah, sangat cocok dengan kantong para backpacker. Kalau di malam minggu, tempat ini sangat ramai dipenuhi muda mudi -yang sering dikenal dengan sebutan ‘anak gaul’-. Mereka biasanya berkumpul dengan teman-teman sebayanya atau berjanjian dengan sang kekasih untuk sekedar melepas rindu..


Jl. Udayana, Mataram

Selesai mengunjungi jalan Udayana, kemudian kami melanjutkan acara malam ini menuju warung makan, kepunyaan ibunya Ating. Amir dan Lana mempunyai sebutannya sendiri untuk menyapa ibunya Ating, mereka memanggilnya dengan sebutan “Cik’ Yem”, entah apa arti sebutan itu –sampai hari inipun aku tak tahu-. Soe dan aku makan malam disini.., pasti sudah dapat diterka, ya.., yang ini juga ‘gratisan’. Hihi.. (trimakasih Ating dan juga “Cik ‘Yem”)



23 Agustus '08
(Hari Keempatbelas) Mataram, menengok UNRAM

Sedikit hal yang aku masih ingat di hari ini. Di hari ini aku dan Soe tidak berkeliling di kota Mataram. Malam hari, dengan menggunakan sepeda motor, Amir mengajakku untuk melihat kampus Universitas Mataram. Setibanya kami disana, aku kemudian hanya menjepret beberapa gambar yang hasilnya juga ‘ngeblur’.


Gambar ini diambil dari pelataran Gedung Rektorat.

Selama perjalanan pulang menuju rumah Amir, kedua mataku berkeliaran memperhatikan setiap aktivitas di sudut-sudut kota Mataram yang dilewati. Tak banyak hal menarik yang ditemui, Mataram di tengah malam adalah kota yang sepi, jauh berbeda bila harus dibandingkan dengan kota besar sekaliber Jakarta atau Surabaya. 
“Yo, besok kita jalan-jalan ke pantai..” Dalam perbincangan melalui telepon genggam, mas Alex berjanji akan bertemu kami esok hari, beliau mengajak kami untuk menyambangi sebuah pantai yang terletak di Pulau Lombok ini. Tak mungkin aku menolaknya, secepat kilat langsung ku’jawab,”Siap, mas. Jam brapa besok ketemuannya?...” Di akhir perbincangan, aku kembali memastikan, “ok, Mas. Besok ditunggu ya!”


24 Agustus ‘08
(Hari Kelimabelas) Mataram, Pantai Senggigi.

Setelah selesai dengan tugas-tugas kantor dan waktu bekerja, mas Alex tiba juga di rumah Amir, kira2 pukul 14.00 WITA. Tak ingin membuang waktu percuma, tiga sepeda motor berpenumpang lima pria manis segera berangkat menuju pantai yang dimaksud.
Lima orang pria manis bergaya, sekarang waktunya berfoto (hihii). Walau semanis apapun ke-5 pria tadi, tetap saja mereka kalah manis bila dibandingkan dengan wajah pantai itu sendiri.

"
wajah Senggigi"

Hari ini pantai Senggigi ramai pengunjung, lebih didominasi oleh turis lokal. Selain sebagai salah satu tujuan wisata pantai di Lombok, objek ini juga merupakan salah satu pantai kebanggaan masyarakat Mataram dan Lombok pada umumnya. Di sekitar pinggir pantai dipadati oleh para pedagang, mayoritas dari mereka menawarkan jagung bakar dan kelapa muda sebagai andalan dagangannya.
Mas Alex memilih bermain kano dan berenang untuk mengisi waktu di pantai ini, Darwin (adiknya Amir) dan Lana asyik bermain pasir, sementara…, Soe dan aku sibuk mengorek-ngorek sisa daging dari buah kelapa muda (hihiii…).


mas Alex kano'an

Soe ngorek-ngorek kelapa muda (makanan teruuussss)

Matahari sebentar lagi akan tenggelam, mas Alex menyarankan agar kami berpindah tempat, mencari tempat berpandangan lebih indah untuk menyaksikan ‘sunset’. Berjarak kira-kira 500 meter dari tempat tadi, sekarang kami menemukan lokasi yang cocok untuk menonton film yang berjudul; “Siaran Langsung Matahari Terbenam di Senggigi”


matahari terbenam di Senggigi


panggilan dari gunung Agung?


25 Agustus ‘08
(Hari Keenambelas) Mataram, Pantai Ampenan

Hampir seperti ‘kalong’, begitulah kehidupan Soe dan aku di Mataram. Siang hari kami hanya diam di rumah, malam hari barulah keluar sarang. Tengah malam buta kami diajak Amir untuk melihat pantai Ampenan, kami menerima tawaran itu. Satu motor dinaiki tiga orang (perbuatan melanggar hukum yang tidak patut ditiru, hihii..). Tak ada foto yang direkam malam itu, kenangan akan pantai Ampenan hanya ada di isi kepala kami.


26 Agustus ‘08
(Hari Ketujuhbelas) Mataram, Taman Narmada "Istana Musim Kemarau"

Istilah ‘kalong’ hari ini tidak terpakai. Siang hari kami sudah ada di luar sarang. Tujuan hari ini adalah Taman Narmada. Sebuah taman yang terletak tidak jauh dari pusat kota Mataram. Mengingat akan kenangan mengunjungi taman ini, aku jadi teringat akan sejarahnya. Berikut sedikit informasi mengenai Taman Narmada; 
http://cybertech.cbn.net.id/cbprtl/c...vel|3|0|3|1294

Beberapa gambar yang diambil saat kami mengunjungi Taman Narmada,


karcis masuk Taman Narmada




miniatur Danau Segara Anak




Dawin, Soe, Amir dan Didi
wajah-wajah lapar, menunggu sate pesanan



tangga seribu


27 Agustus ‘08
(Hari Kedelapanbelas) Mataram, Lombok – Denpasar, Bali

Belaian angin malam Mataram yang terakhir
Carrier sudah terlihat penuh kembali, semua peralatan sudah masuk ke tempatnya semula. Soe dan aku bersamaan mengangkat carrier kami masing-masing, sekarang waktunya untuk pergi meninggalkan Lombok.
Dari kediaman Amir kami beranjak menuju Cakranegara, untuk berpamitan dengan ibunya Amir dan ‘Cik Yem’. Selesai berpamitan, mas Alex, Lana, Amir dan Ating lalu mengantarkan dua manusia kecil itu menuju pelabuhan Lembar.
perpisahan dengan 'Cik Yem'



dari kiri; ibunya Amir, Soe dan mas Alex


Pkl. 19.00 WITA aku sudah berada di jalanan kota Mataram, sedang dalam perjalanan menuju pelabuhan Lembar. Duduk terdiam di kursi belakang sepeda motor yang dikendarai mas Alex.
Di atas sepeda motor ini angin kencang menyapaku, membuat rambutku yang sudah berantakan menjadi semakin tak karuan lagi karena hembusannya.
Namun hembusan angin ini terasa berbeda, kali ini sang angin tidak cukup mampu untuk menyejukkan suasana hatiku..., hati'ku yang tetap saja berontak, tidak merelakan tubuhku pergi. Ia merengek, memohon untuk tetap tinggal..., tak setuju dengan keputusan otak yang berkata,
“tidak bisa!”.
Melewati hari-hari dengan orang-orang yang sebelumnya tidak kami kenali, menjalani waktu bersama, memetik kenangan dan meraih kemenangan bersama..., dengan alasan-alasan itulah memang dapat dimaklumi mengapa hati ini tidak merelakan aku pergi…, pergi meninggalkan mereka-mereka yang sekarang lebih pantas disebut saudara...
memilih truk fuso
Di depan Pos jaga akses masuk pelabuhan itu para saudara pengantar mematikan mesin motornya, menurunkan Soe dan aku yang sebentar lagi akan pergi, berlayar menuju Bali.
Cara bertransportasi kali ini sedikit berbeda, tidak seperti saat keberangkatan. Kali ini Soe dan aku tidak membeli tiket untuk menyebrang, kami memilih untuk menumpang truk yang akan menuju pulau Bali. Ide ini didapat dari mas Alex yang menyarankan, 
“mendingan naik truk aja, bayar aja sama sopir truknya. Lebih murah begitu daripada beli tiket di pelabuhan. Soalnya kalo kalian estafet, nanti di Padangbainya juga naik angkutan lagi ke Denpasar, jatohnya jadi lebih mahal. Kalian numpang truk disini aja, cari truk yang langsung ke Denpasar, paling mahal juga 40 ribu, kasih aja sama sopirnya”. Sebuah truk akhirnya didapat, setelah kami menunggu kira-kira lima belas menit. “Deal” dengan sang sopir, kami pun bersalaman dan berpelukan dengan mas Alex, Amir, Lana juga Ating, sebelum akhirnya kami naik ke atas truk. Haru bercampur sedih, membuat lidah membeku, lidah yang biasanya senantisa menari lincah, sekarang ini hanya dapat terdiam. Sulit untuk berkata… Saat ini hanya air muka yang mampu tuk berkata, lugas menyampaikan berbagai pesan melalui perubahan mimik wajahnya… , selamat tinggal tetangga pulau, selamat tinggal saudara…
Selamat tinggal pulau Lombok, selamat datang pulau Dewata
Truk fuso yang kami tumpangi telah berhasil masuk dan parkir dengan sempurna di dalam fery. Soe dan aku kemudian turun dari truk,lalu meniti anak tangga, naik ke geladak.
Di atas geladak kapal aku meletakkan bokong, duduk dengan kaki ditekuk lalu dirapatkan, sementara tangan merangkul kedua kaki, dagu bertopang dengkul. Mataku menerawang, memandang ke sekeliling, menyaksikan pelabuhan Lembar yang mulai menjauh, air laut yang membentang memberikan jarak antara aku dan Lombok… Saat ini aku benar-benar ingin sekali memeluk pulau itu…, namun hanya angin laut yang merangkul tubuh, dingin meresap merasuk ke dalam pori-pori kulit… Dari arah yang berlawanan, berdatangan kapal-kapal fery berpenumpang yang siap untuk berlabuh di Lembar. Pelabuhan Lembar pasti menyambut mereka dengan mengucapkan selamat datang. Aku malah sebaliknya, berbalik arah dan harus meninggalkan pulau itu…
“Haaah…, berakhir sudah perjalananku di pulau Lombok…”, kupalingkan wajahku kearah barat, melihat sesuatu yang ada di depan sana… Di barat sana Bali telah siap menanti untuk memberikan kisahnya, kisah yang dua minggu lalu belum sempat kami torehkan…Apa yang akan terjadi di Pulau Dewata nanti?, aku masih belum bisa menjawabnya...




lanjut...>>>

<insanpenyendiri>

1 komentar: