Rabu, 08 Februari 2012

Restu Perjalanan (Coretan yang "terbuang") #3

19 Agustus '08
(Hari Kesepuluh) Segara Anak, Air Kalak
Dendam sudah terbalas di hari ini, setelah aku merasa cukup puas tidur tadi malam.
Sambutan angin lembut khas suasana danau mengusap wajahku yang baru saja keluar dari persembunyian. Segar dan sejuk..., harum air danau juga ikut tercium oleh hidung, di ujung sana Barujari sangat jelas terlihat, berdiri sendiri, seolah selalu meminta untuk difoto oleh mereka-mereka yang mengunjungi tempat ini. Sementara di beberapa titik, aku melihat banyak orang yang sedang memancing, mencoba peruntungannya berburu ikan.
Siang ini kami akan menuju "air kalak" -sumber air panas-, 
berencana akan mandi di sana.  Lima orang berangkat terlebih dahulu, sementara Amir dan Lana menunggu giliran, mereka 'menjaga' tenda. Perjalanan yang ditempuh untuk menuju air kalah tidaklah jauh, hanya sekitar 10-15 menit saja kami sudah sampai disana, kemudian sesuai dengan rencana, kamipun akhirnya..., mandi.. (Horeeee, akhirnya mandi juga...). Memang berbeda rasanya kondisi tubuh ini setelah berendam di air panas, menyebabkan..., rasa kantuk datang kembali..., dan, lapar tentunya... (Hihi...)


air kalak

tak ada ikan yang terkail di malam keakraban, acara tetap meriah...
Pastilah kalah meriahnya suasana pesta di klub-klub malam dibandingkan dengan "pesta" yang kami adakan malam ini, lampu-lampu disco (kerlipan menawan bintang-bintang), suara musik yang dimainkan DJ (suara-suara merdu binatang malam), gelas berisi minuman beralkohol (nikmatnya segelas kopi susu
 hangat), dan seksinya wanita-wanita cantik yang menggoda (adalah guyonan yang keluar dari masing-masing kami), juga dilengkapi dengan menu makan malam; ikan karper bakar -asli danau Segara Anak (yang tentunya tidak akan bisa ditemui di klub-klub malam manapun).
Lana memang handal untuk 'urusan' ikan, ikan karper yang didapat itu diolahnya lalu dipanggang di atas perapian yang telah dibuat sebelumnya (namun jangan salah persepsi saat membaca; 'ikan karper yang didapat',  karena ikan karper itu bukan hasil jerih payah kami memancing, walaupun beberapa dari kami sudah mencoba untuk mendapatkannya tapi kami tetap gagal, akhirnya..., terpaksa kami membeli dari pemancing yang berhasil mendapatkannya, hihihi...).
Sekarang kami semua dapat menikmati lezatnya ikan karper bakar, sungguh lezat, sangat leeezaaaaaaattt. Hmmmm, enaak, "nyam nyam nyam...", serat dagingnya terasa lembut di lidah, empuk saat digigit, baunya begitu harum menusuk hidung, warnanya sangat putih..., rasanya betul-betul sangat... FENOMENALLL !!!, 
(pembaca berkata; "cukup penulis, cukup!!!. Mohon jangan diteruskan lagi!!. Lalu penulis menjawab:"baik pembaca, tidak akan saya teruskan lagi deh cerita makan ikan karper itu, walaupun memang sangat lezat sih rasanya..." hihihi). Entah memang kenikmatan itu berasal dari ikan tersebut atau karena campuran bumbu  racikan Lana yang membuat kami semua seakan tidak rela untuk berhenti mengunyah.., terlebih lagi Soe, sepertinya ia yang paling banyak makan di malam itu (khusus untuk Soe: "inilah resikonya kalo ngga ngebantuin nulis, jadinya aibnya dibuka..." hihihi, "jadinya terserah yang nulis aja mau nulis apaan..." Horeeee...)
dari kiri: Ating, Amir dan Lana; sang koki handal

Malam yang semakin larut membuat suasana menjadi semakin akrab, kami semua merasa bahwa sepertinya kami sudah saling mengenal sebelumnya. Hal ini sangat jelas tercermin ketika 'sesi' bercanda dimulai, canda dan guyonan yang keluar dari masing-masing mulut terdengar begitu lepas, tanpa beban, mengalir begitu saja..., tidak ada perasaan ragu ataupun canggung...  Wajah-wajah dari tujuh manusia ini nampak sangat ceria, saura-suara tawanya mengisyaratkan kebahagiaan, lambang kebersamaan..

"mengapa kita 'harus' bertemu??"

bertemu
beberapa orang 'ditakdirkan' untuk  bertemu di saat yang tidak terduga, atau disaat yang tidak disengaja, untuk suatu jawab di masa mendatang saat tanya di masa kini belum terjawab...
berkenalan
perkenalan dimulai saat dua orang mau mengulurkan tangan. berjabat tangan lalu berbicara
berteman
pertemanan terjadi ketika dua orang atau lebih mempunyai suatu kesamaan hal, yang dirasa penting ataupun kurang penting...
akrab
keakraban dapat terjadi disaat dua orang atau lebih mempunyai suatu kepentingan yang sama atau tujuan yang samapersahabatan
persahabatan terjadi karena dua orang atau lebih yang mempunyai tujuan atau kepentingan yang sama dapat saling menolong, membantu dan peduli.

terlepas dari itu semua.., sahabat atau bukannya aku terhadap anda.., dan anda terhadap aku,,,
aku telah menemukan jawabannya, jawaban daru sebuah pertanyaan;
"mengapa kita harus bertemu...?"

 

20 Agustus '08
(Hari Kesebelas) Segara Anak - Gerbang Senaru (akses keluar - masuk hutan)
Dirasa sangatlah kurang waktu yang 'diberikan' selama  dua malam bercanda dengan danau ini, tak rela untuk pergi meninggalkan keanggunannya. Sambil menyusuri tepian danau ini kedua mata seakan tak pernah ingin melepaskan pandangannya, memandang ke segala penjuru danau, lukisan Pencipta yang teramat indah...
Pkl. 12.00 WITA 'monster pemburu keringat' itu sudah terlihat, monster ini adalah jalur terjal menanjak akses menuju Plawangan Senaru.
"monster pemburu keringat"

Belum lama berjalan perpecahan tim mulai terjadi di pertengahan jalur ini, sepertinya monster ini sedang menyeleksi kami satu persatu, panjangnya jalur terjal yang seperti tak berujung berdampak terhadap penurunan kekuatan fisik, tenaga menjadi semakin terkuras, diperburuk lagi dengan cuaca panas menyengat tanpa awan menghalang dan posisi matahari yang berada tepat di atas kepala membuat keringat mengucur deras. Belum cukup sampai disitu, kenikmatan ini semakin menumpuk saat  aku menemui sebuah persimpangan jalan, aku mengambil jalur yang mengarah ke kanan, namun jalur yang ditempuh adalah jalur yang salah, membuatku harus berjalan lebih jauh untuk menggapai sebuah punggungan -yang sebetulnya cukup dekat bila tadi aku mengambil arah yang benar-. Di punggungan ini aku kembali berhenti, menarik nafas dalam-dalam sambil menengok ke belakang, melihat lagi danau Segara Anak yang seperti sedang melambai padaku, bak mengucapkan salam perpisahan...
Segara Anak; gambar diambil dari "monster"

Aku membalikan badan, kutengadahkan wajahku, "Waduuuh, ini tanjakan kapan abisnya...?", Kucoba untuk berjalan lagi, namun hanya beberapa saat, aku kembali harus menghentikan langkah, tidak untuk beristirahat, tapi karena tercengang melihat dua-tiga orang yang sedang menurui tebing terjal di depan sana, orang-orang itu berjalan dengan sangat lincah walau tidak beralas kaki, seolah tidak peduli dengan berat beban yang dipikulnya, dari pakaiannya tergambar kalau mereka tidak mengenakan alat-alat pendakian yang standar, bahkan jauh dari standar. Menurutku, pastilah mereka juga tidak mengerti tentang navigasi modern (sama sepertiku, huahuahua..).
Porter-porter itu kemudian melewatiku, kedua mataku ini terus mengikuti gerakan mereka yang masih lincah berjalan, meluncur cepat ke bawah... Pemandangan ini sangat kontras terlihat dengan turis-turis yang berada di belakangnya, nampak turis-turis ini begitu 'repot' untuk berjalan meski mereka sudah dilengkapi dengan peralatan standar pendakian, bahkan beberapa dari mereka malah ada yang sedang menggunakan 'trekking pole', tapi tetap saja mereka kewalahan...
, (jelaslah sudah kalau para porter itu memang manusia-manusia super...)
Aku lalu berjalan lagi, mencoba menapaki jalan terjal itu, tak lama kemudian aku telah tiba di Plawangan Senaru, pkl. 15.05..
Di Plawangan Senaru ini kami bertemu dengan 2 orang wanita warga Negara Jepang beserta dengan para porternya, kedua wanita ini adalah relawan yang bekerja di Lombok sebagai bidan dan ahli gizi (Relawan dari Jepang? Orang Indonesianya kmn ya?? Hhihiii…).
trio Mataram dan dua wanita Jepang
Dengan pertimbangan persediaan logistik yang semakin menipis, kamipun tidak dapat berlama-lama istirahat di tempat ini., penurunan harus dilanjut kembali.
Warna di cakrawala sudah semakin menguning, pkl. 17.10 WITA saat di Pos 3 ini kami rehat sebentar, kemudian langsung dilanjutkan menuju Pos 2.
Bersamaan dengan momen para umat yang taat biasanya akan melakukan ibadah sholat magrib, tibalah kami di Pos 2.
Lima dari tujuh orang sudah berkumpul, Amir, Lana, Ating, Soe dan si manusia kecil.
Saat itu Lana berinisiatif untuk mengambil air, menuju sumber air yang terletak tidak jauh dari kawasan ini. Sementara Berto & Erna masih belum muncul, nampaknya mereka tertinggal cukup jauh di belakang. Kira-kira sudah 30 menit kami menunggu, namun Erna dan Berto belum juga datang, sedangkan matahari sudah mulai tertidur.
Dengan menggenggam senter di tangan, akhirnya diputuskan untuk menjemput mereka. Aku berjalan di depan dan Amir di belakang, kami berdua kembali naik untuk menjemput yang tertinggal. Lima-sepuluh menit setelah kami berjalan, aku mendengar teriakan suara dari atas, suara itu adalah suara Berto yang sedang memanggil-manggil namaku. Tibalah kami disana, di tempat asal suara itu, 
“aku dan Erna nda bisa ngeliat, jadinya nda bisa jalan, soalnya senter kami ada di tas Erna yang dibawa sama Lana”. Huh, jelas saja mereka tidak dapat berjalan, karena waktu tadi di pertengahan jalur dari Pos 3 – Pos 2 carrier yang dibawa Erna ternyata diberikan pada Lana, dengan maksud untuk meringankan beban Erna saat berjalan. Tapi mereka lupa kalau senternya diletakkan dalam carrier tersebut (hihi.., aya aya wae…)
Lengkap sudah sekarang, tujuh manusia telah berkumpul kembali dalam suasana ‘yang agak lain’ di Pos 2, dengan sisa perbekalan logistik yang ada kamipun memasak dan makan sekedarnya. Duduk melingkar di atas ‘bale’ Pos 2, ditemani temaram pijaran lilin yang menyala sambil melahap sedikit havermut, satu sendok lalu diestafetkan, berkeliling.
Lenyap sudah sisa logistik terakhir..
Di lain pihak kejanggalan mulai terlihat di wajah Lana, ada sesuatu yang berbeda dari dirinya, entah itu apa…
“Allright bebeh…, Allright..’ adalah yel-yel yang selalu diucapkan pendaki Bandung itu, Ricky (kami bertemu dengannya sewaktu di Segara Anak). Suaranya menandakan akan kehadirannya. Ia dan temannya, Tommy tiba juga di Pos 2.
Sekarang mereka bergabung dengan kami, sembilan anak manusia kini akan menyelesaikan kunjungannya di hutan ini, turun menuju gerbang Senaru, hanya dengan bermodalkan semangat... -karena energi sudah habis-.
kenapa kamu, Lana...
Parkir di Pos Extra yang ada sesajinya membuat bulu roma berdiri, merinding, respon terhadap rasa takut. Tapi tetap saja, walaupun takut, kami semua malah beristirahat agak lama disini, lelah tak dapat lagi dippungkiri... Kejanggalan dalam diri Lana mulai terungkap, tersibak dari wajahnya yang memucat, diikuti ketakutan, seperti sedang dikuntit sesuatu, mungkin ‘oleh-oleh’ dari sumber air di Pos 2 tadi. Soe sangat sigap dalam melihat kondisi Lana, sekarang ia selalu menempel Lana, menjaganya, untuk antisipasi terhadap kemungkinan lebih buruk yang dapat terjadi kapanpun..



21 Agustus ‘08
(Hari keduabelas) Senaru – Mataram, kediaman Amir

Tak ada awal yang tak berakhir, tak ada hujan yang tak reda, begitupun dengan kesempatan mengunjungi hutan hujan ini. Akhirnya kami semua selamat tiba di gerbang Senaru, pkl 01.30 WITA, setelah melewati proses tiga belas jam lebih dimulai dari Segara Anak (sungguh sebuah catatan waktu yang sama sekali tidak bisa dibanggakan, hmm…).
Kami tidak pernah memikirkan apa yang akan terjadi di dalam hutan sana, kami juga tidak pernah tau akan akhir dari perjalanan ini. Kami hanya merencanakan awalnya saja, selebihnya…, biar hutan sendiri yang mengatur dan biar cuaca sendiri yang berkehendak.

Bukti kalau ini memang tanah Lombok = pedas
Di suasana yang lebih baik ini mulailah Lana bercerita tentang apa yang dirasakannya saat berada di Pos 2 tadi. Benar memang kalau ia merasa seperti dikuntit atau dibayangi oleh sesuatu. Terlepas dari semua itu, mungkin karena faktor kelelahan atau malah benar kalau ‘sesuatu itu’ memang tadi ada, aku sendiri tidak terlalu memusingkan. Sekarang mata dan konsentrasi ini hanya tertuju pada menu makanan yang terpajang di etalase warung (terdapat warung nasi tepat di depan gerbang Senaru).
Pesanan nasi sudah siap disajikan, menunya adalah ikan pedas. Untung saja warung ini buka 24 jam, jika tidak.., jelas sudah lambungku akan menggerutu malam ini, kelaparan. Mulut terus saja mengunyah, tanpa mempedulikan lagi keringat deras yang sedang berlomba meluncur turun dari atas kepala. Pedas memang makanan ini, mungkin inilah menu terpedas yang pernah masuk ke mulutku seumur hidup. Kenangan akan makanan ini pasti tidak mungkin dapat kulupakan, Nasi Pedas Senaru, begitu aku menjulukinya. Harganya tidak mahal, kalau tidak salah cuma ‘lima ribuan’, aku tidak begitu mengingat harganya, karena ini ‘gratisan’; Ka' Berto yang menraktir kami (Horeeee lagi…, makasih ya ka' Berto…).
>>Kami memberikan gelar “Kaka” untuk Berto, setelah kami mengetahui kalau jumlah usianya lebih banyak dibandingkan kami (hihihiiii)

Tawaran emas dari Amir
Sedang lahap-lahapnyanya bersantap, Amir menyuarakan sebuah kalimat yang tidak mungkin tidak tertangkap oleh telinga. Kalimat itu berbunyi demikian, “Ayo, besok pas pulang dari sini, semuanya mampir dulu ke rumah saya, ke Mataram. Santai-santai dulu disana menginap aja disana…”.Mendengar tawaran ini, urat-urat telingaku langsung mengirim sinyal ke syaraf-syaraf otak, lalu otak meneruskannya ke hati, suara hati berbicara,“Wah, tawaran emas nih.., ga boleh.., ga boleh sampe dilewatin…, hihihiiii”, pasti saat itu kedua tanduk iblis di kepalaku mulai tumbuh.

Itu cahaya bintang, bukan cahaya lampu-lampu kota Mataram
Aku bukan robot atau mesin pencari Google yang 24 jam dapat terus beroperasi, setelah perut terisi penuh kamipun mulai menghindar dari keramaian mencari tempat yang lebih sepi, untuk bersembunyi dan tidur. Tidurlah kami semua, meletakkan seluruh badan di atas bangku, depan warung nasi. Beratap langit cerah yang sedang bermandikan bintang, sungguh nyaman... Namun aku masih belum tertidur malam ini, bukan karena gangguan nyamuk-nyamuk seperti yang terjadi di stasiun Gubeng melainkan karena aku mulai berkhayal, melihat cahaya bintang-bintang seolah sedang melihat kerlipan lampu-lampu kota Mataram dari kejauhan… (Hmmm…, kaaacaau)

Cinderamata terakhir dari Senaru
Cukup pagi kami semua terbangun, menjejak lagi berlanjut menuju Pos Senaru. Beberapa ratus meter sebelum sampai di Pos Senaru kami menyempatkan diri untuk mampir lagi di sebuah warung, ada yang menarik dari warung ini, botol-botol berisi cairan warna putih keruh. Ituah 'brem' Lombok yang "manyus', salah satu minuman khas Lombok. Aku sangat ingin mencicipinya, sekedar ingin tahu rasanya. "Wew, ngeri nih.., nenek nenek juga metal nih...", dengan suara yang pelan kalimat itu terucap dari bibir, setelah nampak seorang wanita tua renta keluar dari warung. Ternyata hanya seorang nenek yang menjual minuman keras ini.
Dan yang satu ini juga gratisan, sekarang giliran Lana yang menraktir. (Hihihiiii…, beruntung benar perjalanan ini, sangat direstui). Minuman ini memiliki ceritanya sendiri, selain bila diminum berlebihan tentunya akan memabukkan, minuman ini juga berkhasiat mengeluarkan gas dalam perut. Kami mengalaminya…


"Brem" Lombok

Di warung ini kami berpisah dengan Ricky dan Tommy, kami berpamitan untuk pulang lebih dulu. (sampai bertemu di lain waktu, "sahabat penghibur").

Setibanya di Pos TNGR Senaru kami langsung melapor kepada petugas yang berjaga, urusan pun selesai.
Momen ini adalah momen yang paling kucinta sekaligus paling kubenci, saat-saat kami harus melambaikan tangan untuk “Si Cantik yang Angkuh”, seakan sudah dapat memprediksi bahwa di kemudian hari aku akan sangat merindukannya.
Bemo –sebutan ANGKOT untuk di Lombok- sudah menunggu di depan Pos Senaru, ketujuh manusia ini masuk ke dalamnya, dari beberapa sudut dalam perjalanan “Si Cantik yang Angkuh” masih bisa terlihat, duduk sempurna di singgasananya...
Beberapa menit berlalu tibalah di salah satu daerah lalu kami turun dari kendaraan, dilanjutkan dengan menggunakan “Engkel’ untuk menuju kota Mataram.
Kami berpisah dengan Lana dan Ating di pusat kota Mataram. Mereka turun terlebih dahulu dari “Engkel” ini, langsung pulang menuju rumahnya masing-masing.

telapak tangan harus melambai kembali...
Kami akhirnya tiba di rumah Amir,kira-kira pkl. 14.00 WITA siang hari. Selesai membasuh tubuh diteruskan dengan makan siang. Plecing kangkung dan ayam taliwang menunya. Pedas, sudah pasti. Yang terpenting adalah gratis, lagi-lagi makanan ini juga 'gratisan'. (ternyata, Amir adalah seorang anak dari pemilik salah satu rumah makan di daerah Mataram. Di hari-hari selanjutnya kami tidak perlu untuk memikirkan ‘masalah’ makan selama di Mataram ini, tidak ada selembar rupiah pun yang keluar. Hal ini semakin menguatkan alasan, mengapa coretan ini akhirnya berjudul: "Restu Perjalanan")
Selesai sudah makan siang, kembali lagi lambaian tangan harus diangkat. Sekarang waktunya Erna-Berto yang akan pergi ‘meninggalkan’ kami. Mereka harus menuju Bali hari ini, mengejar jadwal keberangkatan pesawat yang akan terbang menuju Balikpapan. Padahal aku baru saja merasakan nuansa persaudaraan dari mereka. Mereka sungguh terasa bagaikan dua orang kakak bagiku.
Lana sudah kembali datang dengan sepeda motornya, sekarang ia dan Amir siap untuk mengantarkan Erna-Berto menuju terminal.
teringat sebuah pepatah,
...dimana ada kelahiran, pasti akan ada kematian
...dimana ada pertemuan, pasti akan ada perpisahan,
 sampai berjumpa lagi para kakak…

Petang di kediaman Amir tak banyak aktivitas yang dikerjakan, sekujur tubuh masih sangat letih dan otot-otot di seluruh badan belum mengendur, tetap terasa tegang, inilah satu contoh warisan dari Rinjani, warisan lainnya…, kulit wajah terbakar dan bibir pecah-pecah.
Hari memang belum larut malam, saat fokus pandangan mulai buram dan berbayang, tak kuasa lagi untuk menahan godaan agar secepatnya bersua dengan kasur empuk. Tirai bola mata kemudian tertutup dan aku sudah tak sadarkan diri lagi… (trimakasih Amir untuk Plecing kangkung-ayam taliwang siang tadi, dan kasur empuk di malam ini; mungkin malam ini kami sedang tidur beralas tembok keras di sebuah masjid atau terminal, jika saja Pos 1 tak mempertemukan Soe dan aku, denganmu…)

nyambung...>>>

<insanpenyendiri>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar