Rabu, 08 Februari 2012

Restu Perjalanan (Coretan yang "terbuang") #2



16 Aguustus '08

(Hari Ketujuh) Pos 1 - Plawangan Sembalun
sabana tersenyum, motor trail menertawakan

Matahari menggantung di seperempat horizon ketika aku mulaimembuka mata di pagi itu, kemudian aku mengambil kamera untuk mengabadikan beberapa momen di sekitar pos 1. Aku keluar tenda dan terkejut saat melihat ada  beberapa motor trail yang sedang parkir."Hah...?/" melongo pasti wajahku saat itu. Kuhampiri pemilik motor itu, lalu kami bercakap, dan ternyata melalui penuturan lelaki ini aku jadi tau, kalau motor trail memangdiperbolehkan masuk ke kawasan TNGR, beliau juga bilang kalau motor tersebut bisa sampai di pos 2, selebihnya perjalanan tidak dapat dilanjutkan (mungkin bisa saja, tetapi sulit), karena setelah pos 2 jalur menjadi relatif lebih curam dari sebelumnya dan tidak bisa dilalui dengan motor. Mendengar penjelasan dari si pengendara motor ini membuat setan dalam hati ikut berbicara.., "Hmmm, kalo aja tadi malem ada motor trail yang lewat, pasti gw bakalan numpang trus ga bakalan cape2 deh buat jalan kesini...., tapi..., malem-malem...?! auuww...!" 
Selesai bercakap dengannya, kemudian aku mulai mengambil gambar, tampak sekali Soe sudah bersiap untuk berpose. Memandangi hasil dari beberapa gambar yang djepret membuat semangat kami untuk melanjutkan perjalanan menjadi lebih terbakar, ditambah dengan hamparan sabana cantik yang seakan menggoda, belum lagi cuaca cerah pagi itu membuat guratan indah gunung Rinjani semakin jelas terlihat, dan seolah sang puncak memanggil.."Ayo, datang kemari...."










bergabung dengan mereka
Peralatan masak dan logistik sudah dikeluarkan dan artinya teriakan dari para prajurit cacing di dalam perut sebentar lagi tidak akan terdengar.
Saat kami sedang asyik menikmati sarapan datanglah tiga orang pen
daki yang kemudian menghampiri Soe, lalu mereka berbincang. Aku sempat bingung sebelumnya.."Nah.., kq si Soe kenal sama orang2 ini..?". Namun pertanyaan itu segera terjawab saat aku mulai mengingat  wajah-wajah mereka (yang kemudian aku tau namanya; Amir, Lana dan Ating). Mereka adalah pendaki yang bertemu dengan kami saat di pos TNGR kemarin sore, namun kemarin kami hanya sebentar bertemu dengan mereka, karena setelah mengurus ijin pendakian mereklangsungberanjak menuju rumah kerabatnya yang masih di sekitar desa Sembalun Lawang, mereka menginap di sana -mereka baru memulai pendakian pagi hari ini-.
Sarapan pun selesai, semua peralatan sudah masuk kemb
ali ke dalam carrier, dan sekarang kami berlima siap untuk melanjutkan pendakian.
Pukul 10.30 WITA  tepatnya awal langkah menuju Plawangan 
Sembalaun itu dimulai, aku berada paling belakang (seperti biasa), baru satu jam berjalan banyak dari kami sudah mendengar kembali teriakan para prajurit cacing, yang berasal dari perut masing-masing tentunya. Keputusan diambil, ya, waktunya bongkar perbekalan lagi. Makan siang usai dengan cepat, mengingat Plawangan Sembalun yang masih jauh adalah tujuan pendakian di hari ini.  

tak menyesal di bukit penyesalan 
Pkl 14.45 WITA kami berlima tiba di Pos 3, lagi dan lagi, aku yangterakhir tiba disana. Tak lama kami beristirahat di Pos 3 ini, lalu perjalanan dilanjutkan. Mungkin disinilah perjalanan yang cukup berat (menurutku), yang disebut dengan Bukit Penyesalan. 'Susul menyusul' -bukannya sedang berlomba- dan bergantian istirahat adalah hal yang bisasa, karena melihat jalur yang panjang dan semakin menanjak memang memaksa kami harus melakukan hal tersebut.

Aku tiba di pertengahan bukit dimana terdapat sedikit tempat yang "rata", menanggalkan carrier lalu beristirahat sejenak sambil menunggu yang lain tiba, menunggu beberapa rekan yang masih ada di belakang (akhirnya, kali ini aku tidak di belakang, hihi...). Amir dan Ating akhirnya datang, serta merta teriakan Ating membuatku jarus turun dari tempat beristirahat, kuhampiri mereka, dan ternyata Amir mengalami sedikit masalah pada kakinya, aku menawarkan bantuan kemudian menggendong carriernya sampai ke tempat dimana tadi aku beristirahat.
Penitian dilanjutkan setelah istirahat dirasa cukup dan kondisi Amir sudah membaik, tak berselang lama kami berjalan, terang mulai berganti gelap, transisi penguasa langit berlanjut sampai akhirnya benar benar hitam. Alat-alat penerangan mulai dikeluarkan dan dipakai. Kembali aku harus menerima 'nasib' karena langkah yang selalu lambat, aku tercecer lagi ke urutan paling belakang. Untungnya teman-teman setia menunggu dengan memperlambat lajunya (membuatku tak menyesal meski sedang berjalan di Bukit Penyesalan).
sepasang bahu dari surga
Entah pukul berapa saat laju angin lembah terus menerus "menghajar" tubuh ini. Langkah semakin melambat dan bobot carrier seperti semakin berat membebani bahu dan punggungku. Soe dan Ating sudah jauh di depan disusul Lana sementara posisi Amir masih dekat di depanku. Aku menghampiri Amir yang sedang beristirahat, "Saya kayaknya istirahat agak lama disini Mir, kamu ke atas aja duluan, trus bilangin ke Soe: saya masih lama istirahatnya. Kalo nggak memungkinkan kayanya saya bakalan tidur disini aja, besok pagi baru deh saya nyusul ke atas -Plawangan Sembalun-". Aku mulai membuka carrier dan mengambil ponco untuk melindungi tubuh dari terpaan angin, sementara Amir menatapku seolah aku akan mati malam ini. Lalu Amir dan Lana melanjutkan perjalanan, di sisi lain aku terdiam seorang diri, berselimut bisu, hanya berteman dingin dan gelap, terasing di Bukit Penyesalan...
Kira kira 10 menit setelah Amir dan Lana melanjutkan perjalanannya, aku mendengar suara yang tidak asing di telinga, "Soe?" tanyaku dalam hati, seolah tidak percaya saat aku mendengar suara itu. Damemang benar, itu Soe, dia menghampiriku dan berkat"Kenapa lw? sini gw bawain carriernya.. Gw barusan udah nyampe Plawangan. Udah deket pisan, paling juga 5 menit dari sini mah", Soe kemudian menggendong carrierku, akupan bersemangat dan mulai berdiri lagi, sambil berkata"Yaaaah, kalo gw tau juga gw kaga bakalan diem disini, Soe, pasti gw paksain kalo tau udah deket banget mah..."
(kamsiah Soe, kamsiah..., hatur nuhun udah bawain tuh "si lonto
ng", bahumu ibarat 'sepasang bahu dari surga')
karena,
...sahabat pasti  akan membantu

...sahabat pasti 
akan menopang
...sahabat pasti 
akan menjaga
...sahabat pasti mengulurkan tangannya
dan sahabat... pasti akan kembali..., kembali datang untuk menjemput sahabatnya yang tertinggal....

uang kertas  sepuluh ribuan
"Wooow..., seakan terpaku tubuh ini seketika, setelah untuk yang pertama kalinya aku melihat indahnya danau Segara Anak/Anakan. Saat itu memang malam hari, namun cuaca begitu cerah dan langit sangat bersih tanpa awan yang menggantung, membuat panorama Segara Anak yang terlihat dari Plawangan Sembalun ini begitu jelas. Aku kemudian duduk, sambil terus meyaksikan keindahan danau ini (danau yang tadinya hanya bisa kulihat di lembaran uang kertas sepuluh ribu rupiah).
Setelah dirasa cukup puas menikmati indahnya danau Segara Anak, kamiberlima kemudian beranjak dari tempat itu, lalu mencari 'spot' untuk mendirikan tenda, akhirnya kami menemukan sebuah tempat, tempat yang lumayan sempit, tepatnya berada di puncak punggungan, lokasi ini sebetulnya sangat tidak nyaman untuk membangun tenda, tapi kami tidak dapat berbuat banyak -karena waktu pendakian yang bersamaan dengan momen 17 Agustus inilah yang membuat banyak orang datang berbondong-bondong untuk mendaki gunung Rinjani, dan lantas menyebabkan kawasan TNGR ini menjadi sangat ramai-, mungkin memang inilah satu-satunya tempat yang tersisa. Alhasil hanya satu buah tenda yang dapat dibangun (tenda yang dibawa oleh Amir),  sementara tenda yang aku dan Soe bawa terpaksa tidak didirikan malam itu.
Seketika angin gunung berubah menjadi mendung, 'payung alam' kini mulai tak bersahabat, memaksa manusia-manusia kecil untuk segera masuk ke dalam tenda, sementara di luar s
ana titik-titik air sudah berubah menjadi gerimis. Tidur bersesakan di dalam tenda yang harusnya berkapasitas empat orang sungguh tidak nyamam -dipaksakan masuk lima orang-, namun kami sama sekali tidak menyesal, karena ternyata hal tersebut cukup ampuh untuk membungkam udara dingin yang menusuk di malam ini.., dan kamipun... bermimpi...


17 Agustus '08(Hari Kedelapan) Plawangan Sembalun
Batal sudah pikirku rencana kami ke puncak hari ini, beberapa pendaki, guide dan porter yang kami temui menginformasikan bahwa, cuaca di pertengahan jalur menuju puncak sangat tidak bersahabat, berkabut dan berangin kencang,  menyebabkan sebagian besar dari mereka yang mencoba meraih puncak terpaksa turun kembali, mengurungkan naitny untuk menggapai "langit itu" di hari ini. -beberapa pendaki yang sukses menggapai puncak juga harus menerima 'hadiah', di atas sana mereka tidak mendapatkan cuaca cerah, apalagi pemandangan indah; jangan berharap!- Berbeda halnya dengan cuaca di Plawangan ini, walaupun penglihatan ke arah puncak sering tertutup kabut tapi indahnya danau Segara Anak cukup mampu untuk mengobati para pendaki yang gagal/batal 'muncak'.
Sementara lima kurcaci ini mempunyai kesibukannya sendiri, pagi ini kami berpindah tempat, membongkar tenda yang sejak tadi malam sudah berdiri, kemudian kembali mendirikannya di dekat jalur yang menuju sumber air. Kali ini tenda pinjaman yang telah kubawa jauh-jauh dari rumah akhirnya dapat didirikan (horeee...).

samarinda's
Tak banyak yang dapat dilakukan hari ini, selain tentunya memasak dan makan , kegiatan hari ini hanya diisi dengan foto-foto dan bersilaturahmi.
Dua orang yang sebelumnya sempat bertemu dengan kami di pertengahan jalur antara Pos 2-Plawangan Sembalun kemarin sore, ternyata kami jumpai lagi hari ini, aku melihat tenda mereka yang berdiri tidak jauh dari tempat dimana kami mendirikan tenda. Salah satu dari mereka kemudian mendekati dan menyapa, olahraga lidah kembali dimulai diawali dengan 'ngopi bareng'. Dalam perbincangan beliau menyebutkan, kalau ini adalah kali pertamanya mereka mendaki gunung, karena di tempat asalnya tidak terdapat gunung, -sedikit gunung di Kalimantan- ("pendakian pertama ke-Rinjani? Terakhirnya nanti dimana?!", begitulah pertanyaan yang dilayangkan oleh banyak orang) memang, hampir tak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
Rembulan telah datang menyapa , malam ini kami harus tidur lebih awal, karena rencana pendakian menuju puncak akan dimulai sekitar pkl.02.00 WITA dini hari nanti. Harap-harap cemas sebelum mata ini tertutup, "mudah-mudahan di pagi nanti cuaca akan cerah dan tidak seperti hari sebelumnya..", itulah harapan suara hatiku..., dan kamipun semua terlelap, seolah meninggalkan Plawangan Sembalun dengan kesunyiannya..., sepi...



18 Agustus '08(Hari Kesembilan) Plawangan Sembalun - Puncak Rinjani - Plawangan Sembalun - Danau Segara Anak
Berto (pendaki yang berasal dari Samarinda) mendatangi tenda kamisekitar pkl. 01.00 WITA, disaat itu aku dan Soe sudah terbangun, kemudian kami menyiapkan segala sesuatu yang akan dibutuhkan untuk 'summit attack'.
Pkl. 02.00 W
ITA pendakian menuju puncak dimulai, setelah selesai berdoa, kami berlima (Berto, Amir, Lana, Soe dan aku) bergerak secara beriringan, perlahan tapi pasti, satu demi satu langkah kaki pun diayunkan.
Beratnya pendakian di awal perjalanan mulai terasa saat kami harusmeniti beberapa jalur yang cukup terjal dan disertai dengan debu-debu yang masuk ke dalam rongga pernafasan, kedua hal itu cukup memberikan alasan mengapa kami harus berhenti beberapa kali.  

bisikan semangat dari angin

Entah sudah berapa lama kami berjalan, angin berhembus semakin kencang pagi ini, membuatku berulang kali harus berlindung di balik batu atau cerukan-cerukan yang dapat kujumpai selam
a perjalanan."Kayanya gw udah jalan lebih dari setengahnya deh...", tiba-tiba hati ini berbicara di saat kesekian kalinya aku harus berhenti ditengah-tengah jalur pendakian, namun kali ini aku hanya berdiri, tidak duduk dan bersembunyi di balik batu ataupun cerukan, kucoba 'mengambil nafas' dan sejenak menunggu  angin kencang ini 'pergi', lalu  aku menoleh ke belakang, melihat Soe yang masih berjalan. Sekilas kulihat ayunan langkahnya,  ayunan langkah yang sepertinya sangat berat, kemudian ia mendekat, dan berhenti tepat di belakangku. Kuperhatikan wajah itu, wajah yang seakan menggambarkan keputusasaan. "Hadoooh..." sambil menggelengkan kepala keluhan itu keluar dari mulutnya, dan hal itu cukup membuatku mengerti atas apa yang sedang dirasakannya. Kami terdiam sejenak, lalu aku berkata.. "Soe, ga bakalan ada langkah ke-2 kalo ngga ada langkah yang pertama...", kata-kata itu entah datang darimana, aku hanya mengucapkannya begitu saja, seolah tanpa berpikir dan tanpa perencanaan. Namun akhirnya kata-kata itu menjadi 'spirit' baru yang menyertai langkah kami selanjutnya, dan terbukti..., kami berjalan lebih bersemangat dari sebelumnya, walaupun fisik sepertinya sudah 'habis' dan nafas 'menghilang', atau bahkan sepertinya sudah tidak mungkin lagi untuk Soe dan aku dapat menggapai puncak yang sudah ada di depan sana, tapi kenyataannya kami dapat terus melanjutkan pendakian ini.

ijin dari 'pemilik'

Setengah enam pagi waktu setempat akhirnya kedua kaki'ku berhenti melangkah, dan kali ini bukan untuk beristirahat... Aku terdiam melihat Lana dan Amir yang telah terlebih dahulu tiba di tanah datar ini, tanah yang sudah tanpa penghalang, ujung titik ini..., ...Puncak Rinjani... Sementara posisi Soe waktu itu berada di sampingku. Aku sudah dekat, bahkan sangat dekat, hanya bersisa sekitar 10 meter lagi untuk menuju kesana, namun aku diam, tidak beranjak dari tempatku berdiri, dan dari sinipun aku sudah dapat melihat indahnya cakrawala luas, melihat indahnya semua hal yang ada di bawah sana.. Aku takjub, heran, seperti tidak dapat berkata-kata dan bergerak.
Kemudian aku mulai berjalan kembali, lalu kusinggahi tanah itu, dan akhirnya bibir'ku mencumbu pasir kerikil yang bercampur debu di tanah ini (sesuai dengan janjiku sebelum aku datang kesini). Luapan rasa ini sungguh tak dapat ku'mengerti, hanya air yang menggenang di ujung mata yang dapat menjelaskannya... Yang kutau, aku hanya mencoba tuk selalu menghormati puncak-puncak gunung, dan tak pernah sekali pun aku  mencoba tuk menaklukannya, karena aku hanya diberi ijin untukberdiri di atasnya selama beberapa saat, sebelum akhirnya aku turun kembali, lalu angin dan hujan akan menghapus sisa-sisa jejakku yang tertinggal..


karena aku... hanyalah manusia kecil...,
disaat malam dingin datang, aku hanya bisa menggigil, b
ersembunyi di dalam sleeping bag...
disaat badai menerpa, aku hanya bisa terdiam di dalam tenda, merengek, lalu meminta agar cuaca kembali cerah...
atau malah,
ketika engkau murka, aku takkan berani untuk mendaki, mendekatpun tidak,,,, aku terlalu takut untuk menghadapi lahar dinginmu... terlebih lagi awan panasmu...
aku sadar, aku tak'kan pernah dapat menaklukanmu, sekalipun tidak...
karena aku...
hanya manusia kecil... 


...setelah aku pulang dari tempatmu, tak ada lagi yang perlu dipromosikan atau dibuktikan dari diriku ini...,
...setelah aku pulang dari tempatmu, hanya sisa cerita tentang keindahanmu yang akan kuberitakan, yang hanya karena diijinkan maka aku dapat melihatnya...


karena aku...
hanya manusia kecil...


Pkl. 08.00 WITA kami berlima telah kembali berkumpul di Plawangan Sembalun, seperti biasa, aku yang terakhir tiba. Lagi-lagi cacing ini berteriak, atau berorasi lebih tepatnya, aku dan beberapa teman lainnya kemudian mulai memasak dan makan.
Istirahat yang terlalu lama mengakibatkan kami malas untuk 'packing', padahal hari ini kami akan menuju danau Segara Anak, berencana akan mendirikan tenda di tepiannya. Siang hari rasa malas itu ak
hirnya tumbang oleh keingian yang besar untuk segera berada di tepian danau, sementara kami sedang 'packing', Berto dan rekannya berpamitan pada kami, mereka akan berjalan menuju danau terlebih dahulu, begitu penuturannya. Pkl. 14.00 WITA 'packing' selesai lalu kami memulai perjalanan menuju danau.

'ditakdirkan' berjodoh  

Tiga jam waktu yang dibutuhkan untuk dapat sampai di danau ini, Segara Anak. Dari kejauhan terlihat Berto yang telah tiba terlebih dahulu sedang menatap ke arahku. Bahasa tubuhnya seperti sedang mengisyaratkan sesuatu, dan nam
paknya ada yang ingin ia sampaikan padaku, kemudian aku berjalan mendekatinya...  "Masih punya air kah?" harapnya, lalu kusodorkan wadah air yang kebetulan memang masih berisi, "Ini, pake aja.."tawarku.., diraihnya lalu diberikan kepada rekannya yang sedang kehausan, Erna namanya. Tiga buah tenda telah berdiri dan saling bersebelahan, kini Soe dan aku memiliki dua tetangga (Amir n d' gank - Berto n partner; mungkin kami semua memang ditakdirkan untuk saling bertemu, saling mengenal dan saling bercakap...).
Sementara suasana di tepian danau sangat romantis mengisi sore ini, ya, sangat 'melow', tapi..., sayangnya Soe yang berada di sebelahku, bukan wanita cantik... (hmmm, Soe... Soe...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar