Rabu, 08 Februari 2012

Restu Perjalanan (Coretan yang "terbuang") #5

28 Agustus ‘08
(Hari Kesembilanbelas) Monang Maning, Denpasar

“Trimakasih, Bli Putu, hati-hati di jalan…”, tak lupa aku mengucapkan terimakasih dan memberikan delapan puluh ribu rupiah kepada Bli Putu sesampainya kami di pusat kota Denpasar. (Bli Putu adalah warga asli Bali yang berprofesi sebagai sopir ekspedisi).
Soe dan aku turun dari truk fuso itu, tepat di sebuah perempatan jalan. Kemudian kami mulai mencari kendaraan yang menuju Monang Maning untuk selanjutnya kembali ke rumah keluarga Pa’ Aceng, berniat merepotkan mereka lagi… (Hihi..).

Kisaran pkl.10.00 WITA kami tiba di Banjar Monang Maning. Dari etalase kaca warung aku sudah dapat melihat Bu Aceng, beliau sedang melayani seorang pembeli yang sedang berbelanja di warungnya. Mengetahui akan kedatangan kami, beliau kemudian menyapa, 
“ehhh.., kamu toh…, kpan nyampenya? Dari Lombok kapan? Ketemu sama mas Alex?”, aku dan Soe kemudian menjawab pertanyaan itu. Semakin lama semakin banyak pertanyaan yang dilayangkan oleh bu Aceng, akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu berbuntut panjang berbuah menjadi perbincangan…
Hari ini Soe dan aku istirahat total di Monang Maning, tidak berencana untuk keluar dari tempat ini. Seluruh anggota badan diistirahatkan dari aktivitas-aktivitas yang dapat menguras banyak energi, kecuali otak. Malam harinya, Soe dan aku berdiskusi guna menentukan tujuan perjalanan esok hari di pulau ini. Satu tempat akhirnya disepakati untuk dikunjungi esok hari.
Seperti kebanyakan manusia normal lainnya, malam ini pun kami berangkat tidur..., begitu nyenyak, meski masih diiringi kicauan sayap nyamuk. khas daerah dataran rendah...

29 Agustus ‘08
(Hari Keduapuluh) Denpasar – Kintamani - Pura Besakih, Karangasem

Monica masih belum pulang dari tempatnya bekerja, ini menandakan juga kalau Soe dan aku belum bisa berangkat sekarang. Karena satu-satunya cara agar kami dapat pergi adalah dengan meminjam motor yang sekarang ini masih dipakai oleh Monica. Bukan kami tak ingin menggunakan jasa transportasi angkutan umum, tetapi, kami tidak mampu untuk membayar ongkosnya…
Siang hari Monica akhirnya tiba di rumah, tak ketinggalan pula motornya (hihiii..). Si muka tebal ini kemudian berpamitan dengan keluarga bapak Aceng, meminta ijin untuk keluar dan menggunakan motor.

Perjalan dua jam lebih telah ditempuh, melewati daerah Sukawati, Gianyar, Bangli, lalu kami sengaja menyempatkan mampir di daerah Kintamani untuk melihat keelokan danau dan gunung Batur dari kejauhan.
Namun sayang, cuaca yang mendung di hari ini membuat keindahaan danau dan gunung Batur yang kami saksikan dari tempat ini harus kehilangan sedikit ‘gregetnya’. Walau demikian, kami tetap tidak kecewa, bahkan cukup puas dan bersyukur karena sudah diberikan kesempatan untuk dapat melihatnya… Trimakasih Tuhan.
Danau-gunung Batur vs. Bakso
Suasana disini jelas mampu membuat betah para pelancong. Selain karena pemandangan yang indah, suhu udara di daerah ini juga terbilang sejuk, dilengkapi lagi dengan ditemuinya para pedagang di sepanjang jalan yang menawarkan berbagai macam jajanan hangat, seperti bakso dan mie rebus contohnya. Hmmm, sangat klop bukan, menikmati indahnya danau dan gunung Batur di daerah bersuhu dingin sambil menyantap hidangan bakso yang masih hangat…?
Hal itu pula yang kami rasakan sekarang. Melihat suguhan makanan yang menggiurkan langsung membuat nafsu makan kami naik ke level yang paling tinggi.
Dua mangkuk bakso pesanan sudah tersaji di depan mata. Dan dalam sekejap saja isi mangkuk sudah lenyap... (Hihii..). Terang saja kami cepat menghabiskan makanan itu, ternyata kami baru ingat, kalau tadi sebelum berangkat kami lupa untuk mengisi perut. Hmmm…


Soe, mangkuk bakso dan seorang ibu yang menawarkan aksesoris


danau Batur


gunung Batur

Setelah dirasa cukup puas menikmati indahnya danau dan gunung Batur, kami lantas beranjak menuju Pura Besakih. Pkl. 17.15 WITA motor pinjaman dititipkan di pelataran parkir Pura, kemudian kami melangkah, berjalan masuk ke dalam Pura. Baru beberapa meter berjalan, langkah kami terhenti, seseorang memanggil, 
“Mas, mau kemana mas?” Tanya dari seorang pria yang berpakaian adat Bali. “mau ke pura, mas”, jawabku. “Oooo, sini dulu mas, ke Pos dulu”, pria ini mengarahkan kami untuk singgah dulu di pos. Pos yang aku tak mengerti. “Hmm, apa maksudnya Pos??”, hatiku kembali ikut bicara. Akhirnya kami mengikuti arahan dari pria itu, kami pun menuju pos yang dimaksud.
Sekarang baru aku mengerti, kalau ingin mengunjungi Pura, semua orang harus mengenakan pakaian yang menutupi kaki. Terserah, mau mengenakan kain panjang atau celana panjang. Syarat yang kedua adalah setiap pengunjung harus didampingi oleh ‘guide’. 
“Haaaaahh”, kaget dan pasti melongo wajah kami saat mengetahui dan menyadari bahwa saat ini kami hanya mengenakan celana pendek dan sisa uang yang ada di kantong cuma Rp. 77.800,-
Syarat-syarat yang diwajibkan ini akhirnya memaksa kami untuk menyewa dua lembar kain, belum lagi rupiah yang dikeluarkan pasti akan membengkak untuk membayar ‘guide’. 
“Waduuhh…, cukup ngga yah nih duit??”
Sudah ‘tanggung’ sekarang. Kami sudah berada di sini, depan Pura Agung Besakih. Tak mungkin untuk melewatkan kesempatan mengunjungi Pura ini.
Dua lembar kain sudah dikenakan dan kedua kaki sudah tertutupi. Dengan melalui proses alot tawar menawar, akhirnya kami merogoh kocek Rp. 30.000 untuk biaya sewa dua lembar kain. Selesai sudah ‘urusan’ kain, bersisa ‘masalah’ untuk membayar ‘guide’.
Rp. 200.000,- dibunuh oleh Rp. 20.000,-
Salah satu pria yang berjaga di pos menyodorkan sebuah buku. Ini adalah buku tamu para pengunjung. Di buku ini tercantum daftar nama-nama orang atau rombongan yang berkunjung ke pura, berikut dengan tabel di sebelah kanannya yang memperlihatkan dengan jelas besaran rupiah yang dikeluarkan untuk membayar upah ‘guide’.
Aku kemudian memegang pena dan mulai menuliskan namaku dan Soe di buku itu. Sempat terhenti aku menulis ketika melihat nilai rupiah yang telah lebih dulu diisi oleh pengunjung-pengunjung sebelum kami. Di sini tertera nilai rp. 200.000; rp. 400.000, bahkan ada yang mencapai angka rp. 500.000. Seolah tidak yakin melihat angka-angka tersebut, aku kembali membolak-balikkan kertas buku itu, namun tetap saja sia-sia… Tak ada nilai puluhan ribu yang tertera, dan yang paling kecil adalah rp. 175.000. Soe dan aku saling memandang, kami berdiskusi sejenak untuk menentukan nilai rupiah yang akan kami keluarkan. Belum selesai kami berdiskusi, pria yang bertugas melayani para tamu ini kemudian menjelaskan,
”mas, untuk membayar jasa ‘guide’nya berapa aja, teserah, serelanya dan semampunya…”. Mendengar hal ini, aku dan Soe seolah sedang meihat pintu pura Besakih yang terbuka lebar. Dengan keyakinan penuh namun sedikit rasa malu, akhirnya aku menuliskan jumlah rupiah yang akan diberikan untuk jasa ‘guide’. Jelas angka rp. 20.000 yang aku guratkan dengan pena, angka yang membunuh serentetan angka-angka di atasnya… (Hihiii…). Kemudian, masuklah kami ke dalam Pura Agung Besakih, dengan langkah yang ringan dan dada dibusungkan… (terlampau bahagia karena bisa masuk ke dalam pura, atau… dengan nilai rp. 20.000…?? “weeewww”)


Besakih di transisi penguasa langit



Di dalam pura kemudian sang ‘guide’ menjalankan tugasnya dengan baik. Beliau menjelaskan semua tentang pura Besakih, mulai dari sejarah, kegunaan dan hal-hal menarik yang terdapat dari pura ini. Sampai tiba pada suatu perbincangan mengenai gunung Agung. Soe dan aku banyak bertanya mengenai gunung Agung, berharap siapa tahu suatu saat kami berkesempatan untuk mendaki gunung ini. Beberapa pertanyaan yang kami sampaikan adalah; pertanyaan tentang jalur pendakian, syarat-syarat, dll. Pertanyaan-pertanyaan ini juga mampu dijawab olehnya, dan jelas saja ia tahu banyak tentang seluk-beluk gunung Agung. Selain ia berprofesi sebagai ‘guide’ pura, beliau juga memiliki pekerjaan sampingan untuk memandu para turis mendaki gunung Agung. Mendengar pemaparannya membuat ketertarikanku dan Soe kembali meningkat, -walau hari ini kemolekan gunung Agung tak terlihat karena cuaca yang mendung-, sebetulnya kami ingin sekali mendaki gunung ini. Kapan lagi kesempatan ini datang, mumpung sekarang kami ada di pulau ini, Bali. Mengingat juga akan perjuangan kami sebelum berangkat kesini, rasanya akan sangat sulit untuk mengulang perjalanan ini di kemudian hari.
Lalu sang ‘guide’ juga mempromosikan dirinya, saat ia menjelaskan upah yang biasa didapat saat memandu para pelancong.
“minimum rp. 250.000 saya dibayar oleh orang-orang yang saya antar”, katanya. “Oooo..”, cuma satu kata itu yang bisa membalas kalimatnya. Aku pun berandai-andai, kalau aku dan Soe berkesempatan untuk mendaki Agung, kami tidak mungkin menggunakan jasa pemandu… Alasannya sudah jelas, bukannya kami tak ingin, melainkan kami tak mampu…
Hari semakin sore dan waktu kunjungan Pura sudah selesai. Sebelum kami berpisah dengan “guide’, ‘guide’ ini berkata, 
“mas, ini nomor handphone saya, kalo memang tertarik mendaki, silakan hubungi saya ya.., karena peraturan sekarang tidak mengijinkan pendaki untuk naik ke gunung Agung kalo tidak didampingi oleh ‘guide’. Peraturan ini dibuat karena pertimbangan ‘insiden’ beberapa waktu lalu, pas ada tiga orang pendaki hilang dan satu orang belum ditemukan sampai sekarang…”. Kami menjawab,”iya, Bli, pasti nanti kami hubungi seandainya kami mau mendaki…”
Pkl. 18.30 WITA kunjungan ini berakhir.


dua lagi insan baik
Kemudian kami berjalan keluar dari area pura, berjalan menuju sebuah warung nasi yang tepat berada di sebelah Pos Polisi Besakih. Di warung ini kami bertemu dua orang yang sedang ‘ngopi’, nampak juga dua piring kosong tergeletak di meja, di depan mereka. Satu buah carrier dan tas kecil yang sedang tiduran di kolong bangku menguatkan prediksi bahwa, nampaknya mereka akan pergi mendaki.
Berlagak ‘sok akrab, kami menghampiri mereka, berkenalan dan berbincang (Ari dan Iqnal namanya). Benar memang kalau mereka akan mendaki gunung Agung malam ini. Tapi aku tak melihat seorang ‘guide’ disini. Hal ini pula yang aku tanyakan pada mereka. Mereka lalu menjelaskan, 
“kalo memang ga punya cukup uang ga usah pake ‘guide’ juga ga apa-apa kq, yang penting kita ngelapor aja di Pos polisi sini”, tuturnya. “Mmm, gitu ya…”,reaksi kami.
Salah satu dari mereka kemudian menawari kami ‘kopi dan rokok. Kami menolak tawaran itu, canggung dan malu, walau mulut ini sangat ingin untuk merokok dan ‘ngopi’, selain itu, kami juga tidak bisa berlama-lama lagi di tempat ini, karena harus mengembalikan motor yang semenjak tadi siang sudah kami pinjam. Tapi Ari tetap memaksa, 
“udah, santai aja. Ngopi dulu disini.., sebentar doang.., paling juga berapa lama sih ngopi?! ini rokoknya, isep aja…”. Jujur, saat ini kami sedang tidak mengharapkan hal-hal yang gratis, kami juga cukup sadar diri, selama perjalanan sembilan belas hari ini kami telah banyak mendapat bantuan-pertolongan dari orang-orang yang tulus. Kami merasa sangat malu, namun di lain pihak kami pun tidak bisa untuk menolak rejeki, apalagi dari seseorang yang memang murni dan berniat baik. (selain karena..., jumlah uang di kantong kami yang bersisa dua puluh ribuan, tak mungkin untuk membeli kopi dan rokok. Uang itu hanya cukup untuk mengisi bensin, nyawa perjalanan pulang {Hihi...})
Lagi-lagi benda-benda gratis ini masuk ke dalam tubuh kami.
Tiga puluh menit berlalu, saatnya mereka untuk pergi mendaki dan kami harus pulang. Tak lupa bertukar nomor telepon sebelum kami berpisah, 
"besok mampir ya ke rumah, jangan sampe nggak!", itu adalah undangan dari Ari pada kami untuk mengunjungi kediamannya, selepas mereka turun dari gunung Agung. "Ok, pasti dihubungi, pasti nanti mampir kesana. Makasih buat smuanya. ati-ati di dalem utan...". Soe dan aku mengucapkan kalimat itu, dan kami berpisah.


tengah: Ari, kanan: Iqnal
pose dua pribadi penolong, gambar diambil sesaat sebelum mereka mendaki gunung Agung.


<Mereka akhirnya menambah catatan perjalananku, nama mereka telah terpampang dalam daftar catatan orang-orang baik yang kami jumpai selama perjalanan.>

30 Agustus '08
(Hari Keduapuluhsatu) Pantai Sanur, Denpasar

Ini adalah hari Sabtu, hari yang harus diisi dengan bersantai.
Monica dan temannya berencana akan ke Pantai Sanur sore ini. Soe dan aku juga diajak, pkl 17.00 kami berempat menuju kesana. Monica berboncengan dengan temannya, menggunakan motor miliknya. Lantas bagaimana dengan kami? Jangan khawatir, di rumah ini masih ada satu sepeda motor yang sedang ‘nganggur’. Motor milik Pa Aceng tidak terpakai, kami menggunakan motor ini. (hihi…).
Menuju pantai Sanur tidaklah sulit, letaknya masih di kota Denpasar, berkendara motor dari pusat kota hanya akan memakan waktu tidak lebih dari dua puluh menit untuk mencapainya.
Tak jauh berbeda dengan pantai Senggigi di Lombok, pantai Sanur di Bali ini juga merupakan pantai yang diminati oleh masyarakat Denpasar. Pengunjung biasanya akan meramaikan pantai ini di hari-hari libur. Sama seperti hari ini, pantai Sanur sangat ramai, para pelancong dari sekitar Denpasar atau dari luar daerah beramai-ramai datang memenuhi tempat ini. Anak-anak kecil terlihat sedang bermain pasir di pesisir, ada juga yang berenang di tepian. Lain lagi dengan orang-orang dewasa, mereka lebih memilih untuk bermain kano.
akhirnya..., jadi juga bermain kano
Paling banyak alasan dari mereka yang mengunjungi tempat ini adalah untuk bermain kano, sama persis seperti tujuan Monica. Ia, yang sudah lama tinggal di Denpasar juga seperti tidak bosan-bosan untuk menghabiskan waktu di Sabtu sore dengan berkunjung ke Sanur, hanya untuk bermain kano. 
“Hmmm, emang kaya gimana sih enaknya bermain kano?”, seperti biasa, hatiku ikut berbicara lagi.
Tidak seperti waktu di Senggigi, saat aku melewatkan kesempatan untuk bermain kano. Sekarang, aku dan Soe benar-benar ingin mencobanya. Kami mendatangi salah satu orang yang menyewakan kano –dari sekian banyak orang yang juga menyewakan kano-.
Harga sewanya cukup murah, hanya rp. 7.500, saat ini. Soe dan aku langsung mencoba olahraga ini. 
“Yuhu.., emang bener asik nih maen kano”.
Menyenangkan dan segar olahraga ini. Sore hari bermain kano memang menyenangkan, di saat keberadaan matahari sudah tak terlihat, tak mampu untuk membakar kulit. Kulit tetap aman, semua orang tak perlu khawatir untuk gosong.

suasana di pantai Sanur

Langit sudah gelap, permainan kano dihentikan. Aku menuju kamar kecil untuk membilas tubuh. Namun pijakan kaki dihentikan saat aku teringat sesuatu, aku berbalik arah, berjalan menuju tempat parkir, sambil bicara pelan pada Soe, 
”eh, mendingan kita mandi di Monang Maning aja, Soe.. Pengiritan lu teh…” (Gubrag…)

31 Agustus '08
(Hari Keduapuluhdua) Alun-alun Puputan, Renon, Denpasar

Kami akan membayar janji hari ini. Setelah Ari menghubungi kami tadi pagi, yang menanyakan, 
“gimana, jadi dateng ke rumah? Saya udah di Renon nih. Ayo kesini, mumpung skrg hari minggu, jadi saya masih off”“Iya, tapi nanti siang kesananya”demikian aku menjawab.
Siang hari, sekitar pkl 14.00 WITA, kami berkendara menuju rumah Ari, di Renon letaknya. Dalam perjalanan kami melihat sebuah tempat yang ramai. Tertarik dan ingin tahu lebih jauh, lalu Soe menurunkan kecepatan laju motor, berbelok menuju tempat tersebut.
Motor Pa’ Aceng disimpan di tempat parkir, kemudian kami melangkah masuk ke area ini. Setelah diselidiki, kami baru mengetahui nama tempat ini. Tempat ini adalah alun-alun Puputan. Alun-alun Puputan mempunyai cirri khas yang tidak ditemui di tempat lain, yaitu berdirinya sebuah patung di atas monumen yang berbentuk orang. Di patung ini terlihat ada tiga orang sedang berdiri sambil memegang senjata tradisional, mengenakan ikatan kain merah-putih yang melingkar di kepala. Hal ini mengisahkan sejarah rakyat Bali yang berperang puputan (sampai mati) dari semua kasta untuk melawan kolonial Belanda. Perang puputan itu dipimpin oleh seorang serdadu Belanda asli Bali bernama I Gusti Ngurah Rai.


dua gembel, latar belakang Patung Puputan

Dirasa sudah cukup puas mengunjungi alun-alun Puputan, kami melanjutkan lagi perjalanan. Namun godaan untuk singgah di tempat lain tidak dapat kami tolak. Megahnya Monumen Perjuangan Rakyat Bali yang berada di daerah Renon juga kami datangi.
Sayang beribu sayang, untuk masuk ke tempat ini tidak gratis. Kami melihat daftar harga yang terpampang di kaca ruang loket. Kondisi keuangan yang semakin menipis memaksa kami harus berhitung sebelum mengeluarkannya, dan sekarang kami cukup puas untuk melihatnya hanya dari depan, walau sebetulnya bisa saja kami membayar untuk masuk.
Namun Sisa uang yang masih ada kami simpan untuk tujuan mendaki gunung. (maklum.., kami hanya dua orang backpackers gembel yang hanya akan mati-matian mengeluarkan uang kalau untuk mendaki gunung, hihi)



Monumen Perjuangan Rakyat Bali

Tidak jauh dari tempat ini (Monumen Perjuangan Rakyat Bali), kemudian kami menuju sebuah kantor pos, tempat yang ditunjuk sebagai lokasi pertemuan kami dengan Ari. Tak menunggu lama lalu Ari datang, dan kami bertiga sekarang menuju rumahnya.


Soe dan Ari, di depan kantor pos Renon, Denpasar

Tiba di kediaman Ari, motor Pa’ Aceng pun langsung diparkirkan, persis berdiri diam di sebelah motornya Ari.
Ari tidak sendirian di rumah ini, pria asal Semarang ini tinggal berdua dengan teman satu kantornya. Mereka bekerja sebagai karyawan di salah satu kantor pemerintahan di daerah Renon.
trimakasih, pria Semarang...
Layaknya seorang tuan rumah menyambut tamu, Ari mempersilakan kami duduk, ditemani dengan suguhan 'softdrink' dingin. Perbincangan dimulai sampai ia kemudian menceritakan pengalaman mendaki Agung dua hari kemarin. Mendengar kisah dari Ari, membuat hasrat kami untuk merasakan belaian angin dingin gunung Agung semakin melonjak. Dalam selingan perbincangan, Soe dan aku kembali berdiskusi, 
“Soe,coba kita tanya sama mas Ari, kalo nyewa motor di Denpasar berapa? Trus nyewanya dimana?. Kalo emangnya ada tempat nyewa motor yang murah, besok kita berangkat ke Agung.” Pertanyaan itu langsung diutarakan pada Ari. Ia menjawab, “Saya nggak tau kalo tempat nyewa motor, emangnya pada mau kemana? Nah, motor yang dibawa sekarang emangnya kenapa?” Lalu kami menjelaskan tentang niat kami, bahwa kami berencana akan mendaki gunung Agung esok hari. Sementara motor yang kami pakai sekarang adalah motor Pa’ Aceng, yang tak mungkin kami pinjam kalau untuk jangka waktu yang relatif lama (karena, setiap pagi Pa' Aceng pasti menggunakan motornya untuk pergi ke pasar)

Ari memang bagaikan ‘sponsorship’ tanpa label. Pria yang sangat baik ini dengan ikhlas menawarkan motornya, “Oo, gitu ya. Saya emang beneran ga tau kalo nyewa motor disini itu dimana.., pake aja motor saya. Kalo saya gampang disini, tempat kerja saya deket dari sini. Temen saya juga ada motor, jadinya kalo pergi kerja bisa nebeng sama dia. Lagian kalo kalian pake angkutan umum ke Besakih pasti mahal banget! udah..., santai aja, pake aja motor saya...”.
Bagi Soe dan aku, kejadian ini sangatlah aneh. Meski kami sudah menolak tawaran untuk menggunakan motornya, tapi Ari tetap memaksa, walau memang dengan alasan yang masuk akal.
Tetap saja…, sekali aneh tetap aneh. Ari memercayakan materinya yang tidak bernilai sedikit kepada dua orang asing yang baru saja dikenalnya.
Sepertinya memang tidak ada pilihan lain untuk menuju Agung dengan 
‘budget’ kami yang tinggal sedikit, sangat minim. Akhirnya kami menerima tawaran baik itu.
(Sungguh sebuah perjalanan yang direstui; 
Restu Perjalanan).

Singkatnya, kami pulang ke Monang Maning sore itu, mengembalikan motor Pa’ Aceng, berkemas menyiapkan perbekalan untuk ‘hiking’ ke Agung, lalu kembali ke Renon, kediaman Ari.
Sesuai dengan saran Ari, hari ini kami bermalam di rumahnya. Esok hari baru kami akan menuju gunung Agung...
{trimakasih saudara Ari, sangat terimakasih...}
(31 Agustus, hari pertama tarawih “munggah” di 2008)

bersambung...>>>

<insanpenyendiri>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar