Rabu, 08 Februari 2012

Restu Perjalanan (Coretan yang "terbuang") #6

01 September '08
(hari Keduapuluhtiga) Renon – Karangasem – Gunung Agung

Segelas besar teh manis, satu buah cemilan kecil dan sebatang rokok menemani menu sore ini. Berbeda dengan Soe, nafsu makannya tak perlu diragukan lagi…, ia langsung memesan nasi satu piring penuh, lengkap dengan lauk pauknya.
Lama berkendara satu setengah jam telah ditempuh untuk mencapai daerah ini. Di daerah Gianyar ini kami beristirahat, turut meramaikan suasana berbuka puasa di hari pertama.
Tak lama beristirahat di sini, perjalanan kembali dilanjutkan.
Pkl. 20.10 WITA Soe dan aku tiba di Pos. Pol. Besakih Polsektif Rendang. Motor milik Ari yang kami pinjam disimpan di Pos ini, dititipkan pada polisi yang sedang bertugas. Bapak Ngakan nama polisi itu.
Setelah selesai dengan semua urusan perijinan, kami tidak langsung memulai pendakian. Rencananya, kami akan memulai pendakian di tengah malam. Berharap, bila kami memulai pendakian tengah malam nanti, saat tiba di puncak kami akan diberikan sajian ‘sunrise’ yang indah. Alasan kedua adalah karena kami tidak membawa tenda, hanya berniat ‘hiking’ di gunung ini.
Kalau ditanya, mengapa kami tidak memilih untuk ‘ngecamp’?, alasannya sangat jelas; kondisi keuangan! Pastilah lebih banyak logistik yang akan kami beli untuk bekal pendakian.

Sekarang kami memilih untuk beristirahat, mendatangi kembali warung nasi yang tiga hari lalu sempat kami singgahi. Tidak seperti tiga hari lalu, sekarang kami dapat membeli kopi, sedikit makanan dan sebungkus rokok untuk bekal pendakian, dikarenakan…, hari ini kami membawa semua sisa uang yang masih dimiliki (sambil berdoa, semoga uang yang masih ada cukup untuk ongkos pulang sampai ke Jawa Barat).


02 September '08
(Hari Keduapuluhempat) Gunung Agung - Renon, Denpasar

Pkl 00.20 WITA kami telah menemukan akses hutan yang dimaksud, setelah sebelumnya sempat kebingungan mencari jalan. Satu jam kami bolak-balik mencari jalan ini, baru akhirnya menemukan Pura Penggubengan, tepat di sebelah kiri dari jalur yang mengarah ke dalam hutan. Jalur nampak jelas, dari sini hanya tinggal mengikuti jalan setapak yang nantinya akan membawa pendaki menuju puncak. Lima belas menit berjalan, kami mendengar suara langkah kaki dari belakang. Kami berhenti, kemudian orang-orang ini mendekat.
“Alamak!!”, pasti suara hati kami berteriak saat mengenali salah satu wajah mereka. Ia adalah ‘guide’ yang memandu kami di Pura Besakih tiga hari lalu. Sekarang ia sedang bersama dua orang turis dari Jerman, memandunya menuju puncak.
Bli ini juga kaget saat melihat kami, tercermin dari nada suaranya ketika bertanya, 
“Lho, kok ada disini mas?“Guidenya mana?” dan “Kenapa nggak hubungi saya?”. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang ‘diserangnya’ pada kami.
Namun kami akhirnya merasa sangat lega, setelah beliau dapat memaklumi alasan-alasan yang kami jelaskan, alasan mengapa kami tidak menggunakan jasa ‘guide’. Dengan berat hati harus kami sampaikan kalau, kami bukannya tidak mau tapi kami memang tak mampu untuk membayarnya.
‘Guide’ ini menyisipkan nasehat, 
“Hati-hati mas, saya duluan ya…”. Kemudian ia dan dua orang tamunya berjalan lagi, sampai jauh meninggalkan kami.
Seolah tak mau ketinggalan, kamipun lantas melanjutkan perjalanan lagi. Setengah jam berlalu, jalur yang tadinya landai mulai berubah menjadi lebih curam. Pkl. 01.30 aku dan Soe berhenti berjalan. Rasa kantuk yang datang menyerang memaksa kami harus berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Kami memutuskan untuk untuk memasak air. Berniat akan membuat kopi hangat. Di tempat kami berhenti ini sebetulnya tidaklah nyaman, sulit untuk mencari posisi tanah yang datar. Selain itu, sempitnya jalur juga menyebabkan kami harus berhenti di tengah-tengah jalur. Perbuatan ini memang sangat tidak disarankan, tapi saat ini kami terpaksa melakukannya. Tidak ada pilihan lain.
Tidak lama kami diam disini, setelah setelah ‘ngopi’ perjalanan dilanjut kembali.
Tiga jam berlalu dan tidak ada yang menarik selama itu, hanya bintang bertaburan yang dapat dinikmati, selebihnya gelap dan pohon-pohon berdaun lebat yang bisa terlihat. Kondisi jalur masih sama, lumayan terjal dan berada di sebuah punggungan. Untuk ukuran kami, berhenti untuk mengambil nafas sebanyak ribuan kali adalah hal biasa, maklum…, tehnik dan pengetahuan kami tentang mendaki masih sangat minim.
Pkl. 04.30 WITA, rasa kantuk yang kali ini hadir bukanlah kantuk sembarang kantuk. Kami harus menyerah dan mengakui kemenangan atasnya. Mufakat diambil, diputuskan berhenti, mencoba untuk tidur di sebuah punggungan yang sedikit lebih luas dan lebih ‘rata’ jika dibandingkan dengan tempat tadi -tempat saat kami memasak-.
Namun aku tak dapat tertidur walaupun sangat mengantuk, tak tahu bagaimana dengan Soe?.


06.17 WITA



06.44 WITA


Sunrise tetap menjadi ‘mimpi’
Kira-kira pkl. 07.00 WITA kami melanjutkan pendakian, setelah sarapan sepotong roti dan segelas minuman gandum. Jalur masih sempit dan berada di punggungan. Sekarang semua terlihat jelas (sama jelasnya kalau kami menyadari telah kehilangan momen untuk melihat 'sunrise' di puncak. hihi...), namun tetap saja belum ada pemandangan luas yang terlihat. Pandangan masih dibentengi oleh pohon-pohon besar yang rapat.
Setengah jam terlewati, jalur mulai berubah, batu-batu besar harus dilewati kali ini. Kemudian kembali melewati jalur tanah berpasir yang mengantarkan kami sampai di batas vegetasi.


07.36 WITA



07.45 WITA > nampak gunung-gunung di Jawa Timur


08.39 WITA

Pkl 09.00 WITA kami tiba kawasan puncak. Dari sini tersaksikan jelas pemandangan sekitar pulau Bali, terutama gunung dan danau Batur di sebelah barat laut. Terlihat pula tiga orang yang malam tadi bertemu kami, mereka sedang berjalan turun.
Berpapasanlah kami di tempat yang sempit ini, lalu sang ‘guide’ menyarankan, 
“mas, anginnya sudah mulai kenceng, jangan dipaksakan ke puncak, berbahaya. Saya juga nggak berani lama-lama di puncak, makanya langsung turun lagi. Takut badai!”., kemudian mereka bergerak cepat turun ke bawah, beberapa menit kemudian ketiga orang itu sudah tak terlihat, mungkin mereka sudah masuk ke dalam hutan.(Ckckckck, mereka memang sangat cepat…).
Kami mendengar dan mengingat pesan itu, tapi Soe dan aku tetap berjalan ke atas (karena menurut penilaian kami: memang saat ini angin berhembus kencang, tapi masih bisa diatasi dengan berjalan perlahan dan membungkuk untuk meminimalisir dampak dari terpaan angin yang mendorong tubuh). Kami berjalan lagi, melewati jalur yang lebih sempit, lalu tiba di satu ‘titik’ kawasan puncak, kira-kira pkl. 09.40 WITA.
angin itu kembali mendidik, mendidik manusia angkuh!
Kami baru menyadari, ternyata kami salah, salah besar!!. Kecepatangan angin bertambah ganas ketika kami berhenti lagi, kemudian menegakkan badan. Angin yang semakin kencang itu mendorongku, membuat keseimbangan tubuh menjadi goyah dan memaksa salah satu kaki terangkat, lalu kupijakkan lagi kaki yang terangkat ini pada posisi tumpuan yang lebih ‘pas’ untuk dapat menahan tubuh agar tak terhempas oleh angin. Kami kemudian berjongkok, sangat tak berani untuk berdiri. Bayang-bayang jurang di kanan-kiri jalur semakin menghantui. Sementara puncak sudah ada di depan mata., sangat dekat. Kami dihadapkan pada pilihan yang sulit –walau sebetulnya mudah, bila ego dalam hati bernilai ‘nol’!!!, pergulatan hati terjadi.
Kami berdua diam sejenak, berpikir untuk memutuskan, sambil berharap angin kencang ini segera pergi. 
“Ya, aku sangat berharap angin kencang ini pergi, agar aku dapat melanjutkan perjalanan dan menggapai puncak itu, puncak itu…, puncak yang sudah di depan mata, puncak yang tinggal ‘selangkah’ lagi!!”, ego dalam diri ini berteriak.
Sia-sia harapanku agar angin ini reda. Angin ini tetap pada pendiriannya, tidak mau ia mereda, sedikitpun tidak mau ia mengalah. Ia malah semakin mengamuk, menghajar ego hatiku!, menampar wajah sombongku!. Seolah juga angin ini berkata, “Hei!, siapa kamu berani menyuruhku pergi?, kamu yang pergi!!”
suara kecil itu...
Di situasi ini Soe berkata padaku, dengan suara yang pelan dan telunjuknya mengarah pada puncak gunung Agung, 
“Bro…, puncak gunung Agung bukan disitu bro…”,“tapi disini…, disini…” sambil kepalan tangannya memukul-mukul dada…


10.08 WITA > Soe dan Merah Putih



11.56 WITA > di belakang, sedikit mengintip danau dan gunung Batur

Jelas sudah..., siang ini puncak gunung Agung sepertinya tidak mau untuk kedatangan tamu. Biarkan saja puncak itu berada di tempatnya. Mungkin, puncak Agung yang agung ini memang sedang ingin sendiri, ingin menyendiri...
Kami sudah bahagia untuk dapat sampai di sini.

Turunlah dua manusia, membiarkan sang puncak tetap memerintah dengan kekuasaannya.
... memang menggiurkan untuk berada di puncak gunung,
... namun, tidaklah lebih 'puncak' jika harus dibandingkan dengan arti menghargai hidup...




14.29 WITA



16.46 WITA > Pura Pengubengan



16.51 WITA

Dua pasang kaki tiba di Pos. Pol. Besakih sekitar pkl.17.15 WITA, langsung melapor kepada petugas yang sedang berjaga, seraya mengucapkan terimakasih.
Kurang lebih satu jam kami beristirahat di sini, lalu pulang menuju Renon, membayar tanggung jawab pada Ari.


18.39 WITA > Trimakasih Ari atas motor pinjamannya...

Pkl. 21.00 WITA kami tiba di Renon. Malam ini kami tidak melanjutkan ke Monang Maning. Ari, yang melihat kami sangat kelelahan, menyarankan agar malam ini kami beristirahat di rumahnya. Tak ragu kami menerima saran itu, lagipula..., tak ada yang mengharuskan kami malam ini untuk 'pulang' ke Monang Maning.


03 September '08
(Hari Keduapuluhlima) Jalan sehat, Renon - Monang Maning

Menekan pengeluaran rupiah, itulah alasannya mengapa kami rela berjalan kaki dari Renon menuju Monang Maning.
Selepas maghrib, setelah mengucapkan beribu terimakasih pada Ari, kami berjalan menuju Monang Maning.
Dua-tiga jam berjalan santai adalah waktu yang dibutuhkan untuk tiba disana. Tidak menyesal berjalan kaki, meski kondisi tubuh belum pulih sehabis turun dari gunung Agung.
Satu kejadian 'lucu' dijumpai dalam perjalanan. Sebuah mobil menyangkut di pembatas jalan, di salah satu perempatan lampu merah keramaian kota Denpasar.

mobil 'nyangkut'


Jalan sehat ini melengkapi '4L' (letih, lesu, lemah, lunglai), finish di rumah Pa' Aceng pkl. 21.00. Maaf pak, bu dan Monic..., malam ini kami tak dapat bercerita dulu.
Pulau kapuk yang sekarang lebih berhak atas cerita kami...

04-05 September '08
(Hari Keduapuluhenam-duapuluhtujuh) Istirahat 'Full'

Sesuai dengan sub judul, hari ini, 04 Sep. '08 kami istirahat total di Monang Maning. Berjibaku di dalam rumah, tidak lupa merepotkan seluruh anggota keluarga... (hihi...)
Tanggal 05 Sep. '08, hari ini juga tidak banyak aktivitas yang dilakukan, selain mengecek saldo di ATM (yang ternyata tidak bertambah, hmmm...) dan sedikit berkeliling di daerah Monang Maning.

06 September '06
(Hari Keduapuluhdelapan) Gagal ke Sukawati..., Erlangga boleh juga...

Di hari ini ada sedikit referensi.
Wisatawan biasanya akan ke Sukawati untuk membeli 'souvenir', sedikit kenang-kenangan untuk 'family' di kampung. Hal ini mungkin akan sedikit merepotkan untuk para 'backpack' yang lebih banyak menghabiskan waktu di kota Denpasar. Karena jarak dari Denpasar ke Sukawati lumayan jauh, tidak ada salahnya untuk mencoba berbelanja di Erlangga, lokasinya di Jl Nusa Kambangan No. 28 B Denpasar (sebuah toko 'souvenir' yang menjual macam-macam barang berlogo 'Bali' ). Masalah harga jangan khawatir, menurut info dari beberapa orang, harga di Erlangga dan Sukawati tidak jauh berbeda.
Kami juga berbelanja di Erlangga hari ini.




jangan banyak-banyak, Soe..., ntar nggak bisa pulang...


beli baju buat 'my lovely, mom'

Saatnya berbuka puasa hampir tiba, kami menuntaskan kesibukan berbelanja. Tidak banyak yang dapat dibeli, walau pilihan 'item' sangat beragam, unik-unik dan lucu-lucu. Lalu kami melangkah keluar dari toko ini, pulang ke Monang Maning.

07 September '08
(Hari Keduapuluhsembilan) Jalan sehat lagi ke Renon, melihat 'ngaben' di jalan

Panas menyengat di hari ini. Keringat mengucur membasahi baju, padahal belum lama kami berjalan keluar dari rumah. Jalan sehat edisi ke-2 ini harus ditempuh, tidak dari Renon ke Monang Maning, tapi sebaliknya. (malu juga terlalu lama diam di rumah Pa' Aceng. Sekarang mau merepotkan Ari, lagiiii..., hihiii...)
Saat melintas di jalan Imam Bonjol, tak sengaja kami mendapatkan momen, upacara 'Ngaben'.


upacara ngaben


wanita Bali dengan pakaian adat

Setengah enam waktu setempat, kami tiba lagi di rumah Ari.
Malam datang, suasana persaudaraan hadir di tengah-tengah obrolan. Sangat akrab kami dengan Ari, walau baru satu minggu kami mengenalnya. Entah apalagi namanya semua kejadian ini, kalau bukan, Restu Perjalanan?!
Di sela percakapan, ia menganjurkan pada kami, agar esok pagi kami berkunjung ke pantai Sanur untuk melihat 'sunrise' disana. 
"jangan sampe enggak, cantik banget 'view' di Sanur. Rugi kalo ga liat, lagian besok kan hari terakhir loe di Denpasar", begitu katanya...

08 September '08
(Hari Ketigapuluh) Sanur 'sunrise' - Denpasar - Gilimanuk

kecupan 'goodbye' dari sanur
Setelah sahur kami meluncur menuju Sanur (pinjam motor Ari).
05.30 WITA kami telah sampai, tidak berselang lama..., langit indah berwarna-warni memeragakam kecantikannya. Dahsyat!









Selesai sudah perpisahan dengan Sanur.
Kembali lagi ke Renon, kemudian malam harinya kami ke Monang Maning, berpamitan dengan dengan keluarga pa' Aceng.
Ari mengantar kami malam ini. Pkl.23.30 WITA ia mengantar aku terlebih dahulu ke pertigaan di jalan Cokroaminoto, kemudian ia menjemput Soe dan mengantarkannya juga kesini. Di sini kami berpamitan dengan Ari.
(Terimakasih dari hati kami yang paling dalam untuk kalian, para saudara di Bali...)
Persis di depan pos DLLAJ aku dan Soe meletakkan carrier, menunggu 'omprengan' untuk menuju Gilimanuk (jumlah uang yang tersisa tidak akan bisa mengantarkan kami sampai di Jawa Barat jika malam ini kami memilih menggunakan bis untuk menuju Gilimanuk).
Kebetulan malam ini ada dua orang petugas DLLAJ yang sedang bekerja. Kami meminta tolong pada mereka untuk 'mencarikan' tumpangan menuju Gilimanuk. Dengan ikhlas, merekapun sudi menolong kami.
Menunggu beberapa saat sampai akhirnya kami mendapatkan 'omprengan'. Seorang bapak yang mengendarai mobil bak/ mobil 'buntung' mau memberikan tumpangannya, bapak ini juga memang sedang dalam perjalanan menuju Gilimanuk.
Jok depan mobil ini kosong, alias, bapak ini seorang diri. Kami dipersilakan untuk duduk di depan, di sampingnya, sementara carrier kami simpan di bak/belakang mobil.
(Terimakasih bapak Madura yang baik hati, maaf, saya lupa nama bapak).


masih bersambung...>>>

<insanpenyendiri>

1 komentar: